Halaman

    Social Items

Visit Namina Blog
Berikut ini yaitu sebuah postingan yang saya sadur dari laporan tahunan JETRO (Japan External Trade Organization) mengenai perkembangan situasi industri animasi Jepang pada tahun 2005. Memang ini yaitu topik yang sangat usang dan mungkin ada yang sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Namun, setidaknya kita bisa mengetahui dinamika sejarah animasi Jepang modern dari laporan ini.

-------------------------------------------------------

Ringkasan

Industri anime Jepang sedang menjadi pusat perhatian, tidak hanya di Jepang namun juga di dunia. Di tengah semakin meluasnya pasar domestik untuk film, televisi, dan video animasi orisinal, para produser animasi Jepang juga mengalihkan sasaran mereka pada pasar luar negeri. Pada dikala yang sama, perkembangan gres mulai terlihat dalam hal ragam metode pendanaan untuk memproduksi sebuah animasi. Namin demikian, industri animasi Jepang sedang berjuang keras untuk mengatasi kurangnya suplai tenaga kerja untuk keahlian tertentu, pengurangan perusahaan animasi dalam negeri, dan tantangan untuk mengekspansi kegiatan operasional mereka di luar negeri.


Gambaran Pasar Animasi di Jepang

Berbicara wacana pasar animasi di tahun 2004, tidak akan terlepas dari salah satu masterpiece Studio Ghibli: Howl’s Moving Castle, yang merupakan karya pertama mereka selama 3 tahun terakhir. yang dirilis pada November 2004. Karya dari Hayao Miyazaki ini mencatat rekor jumlah penonton lebih dari 10 juta hanya dalam 44 hari, lebih cepat daripada film apapun di Jepang.

Popularitasnya pun terus menanjak dengan jumlah penonton yang mencapai 14,23 juta pada tanggal 8 Maret 2005, memecahkan rekor dari film yang digarapnya sendiri berjudul Princess Mononoke dan menempatkannya sebagai runner-up di dalam sejarah industri perfilman Jepang.

Pertanyaannya adalah, seberapa erat film itu akan menyaingi rekor film Spirited Away yang pernah mencapai 23,5 juta penonton dan menjadi film terbaik Jepang sepanjang masa. Howl’s Moving Castle juga telah dirilis di Korea Selatan dan banyak negara, termasuk 60 kota di penjuru Amerika Serikat pada Juni 2005.

Animasi Jepang (“anime”) telah usang dikenal dan diakui oleh dunia alasannya yaitu isi dongeng dan budaya berbasis Jepang-nya yang orisinil, hingga pada sebuah tingkatan yang disebut sebagai “Japanimation”. Para animator dari Amerika Serikat dan negara-negara Asia lainnya berulang kali menyatakan impian mereka untuk bisa bekerja di bidang produksi animasi Jepang, menunjukan bahwa animasi Jepang dipandang sebagai ladang para profesional yang terdepan di bidangnya. Apalagi kesuksesan film Spirited Away dari segi komersial terang memperlihatkan manfaat ekonomi dari animasi Jepang dan daya saing internasional di mata pelaku bisnis global.

Seluruh dunia terang melihat animasi Jepang sebagai ladang bisnis yang mempunyai potensi besar.

Namun demikian, industri ini belum juga menyesuaikan struktur bisnisnya untuk merespon undangan dari luar negeri. Lebih jauh lagi, industri animasi Jepang dihentikan puas hanya alasannya yaitu bisa melaksanakan perluasan ke luar negeri. Pengembangan sistem produksi/distribusi dan sumber daya insan yang penting harus dilakukan untuk sanggup merealisasikan peluang bisnis global untuk anime dan konten kreatif lainnya.

Sistem produksi intinya telah mempunyai struktur yang solid, namun industri nya sendiri masih mempunyai kelemahan besar dalam hal distribusi dan hak cipta di tingkat domestik dan atau global, misalnya: licensing dan keahlian melaksanakan bisnis dalam skala internasional. Dalam hal pengembangan sumber daya manusia, para animator dianggap tidak mempunyai status sosial yang layak. Kaprikornus perpindahan besar-besaran mereka ke industri lain dan negara lain menjadi dilema besar bagi Jepang.


Pergeseran Market Size di Jepang

Pasar domestik animasi Jepang bisa dibagi ke dalam tiga kategori umum:
1) Feature-length films --> anime yang tayang di Bioskop atau Movie Theater kecil lainnya.
2) TV shows --> anime yang tayang di TV; biasanya berformat serial dan ber-season.
3) Versi Video dan DVD dari keduanya di atas, dan OVA (Original Video Animation)

Menurut Media Development Research Institute, penjualan di pasar animasi Jepang jatuh sebanyak 10,4% menuju angka 191,2 Miliar Yen di tahun 2003 (bisa dilihat di Fig 1 di bawah). Pendapatan tersebut berasal dari penjualan tiket bioskop untuk film anime, biaya upah untuk produksi anime berseri di TV, dan laba dari penjualan serta penyewaan Video dan DVD.


Lonjakan pendapatan yang terjadi di tahun 2001 dan 2002 lebih dikarenakan oleh kesuksesan film Spirited Away (30,4 Miliar Yen) di tahun 2001 dan berlanjut dalam bentuk DVD di tahun 2002. Kurangnya masterpiece menyerupai itu mengakibatkan pasar tahun 2003 jadi lesu. Namun penjualan tahun 2004 diestimasi kembali tumbuh alasannya yaitu kesuksesan Howl’s Moving Castle.

Pasar untuk konten anime, termasuk lisensi aksara dan merchandise (penjualan hak semoga seseorang/perusahaan lain sanggup memakai gambar aksara anime di dalam produk mereka, dan juga penjualan mainan aksara anime tersebut) diperkirakan mencapai 2 Triliun Yen. (Note: jumlah tersebut setara dengan 0,45% dari total GDP Jepang untuk tahun 2004 yang sebesar 442 Triliun Yen / 4,3 Miliar US$; asumsi nilai tukar 102.98 JPY/US$)


Struktur Industri

Figure 2 di bawah ini mengatakan citra praktis wacana struktur industri anime. Diagram di bawah yaitu teladan kasatmata untuk serial anime TV secara umum. Tentu saja, situasi yang bergotong-royong sanggup bermacam-macam bentuknya untuk setiap jadwal TV atau film, terutama pada tahap perencanaan/planning.


Stasiun TV, agensi iklan, perusahaan mainan, dan studio produksi anime membentuk sebuah konsorsium (pembiayaan bersama suatu proyek atau perusahaan yang dilakukan oleh dua atau lebih bank atau lembaga keuangan) untuk mengeksekusi tahap perencanaan secara bersama.

Perusahaan mainan bergabung pada tahap ini alasannya yaitu eksistensi mereka sangat dibutuhkan untuk sanggup mengekploitasi kegunaan sekunder para aksara anime (khususnya di serial anime TV). Kegiatan produksi yang bergotong-royong dilakukan oleh pihak kontraktor utama yang didukung oleh para sub-kontraktor di beberapa fase produksi.

Statistik yang terkait dengan para seorang jago anime, para pengusaha yang terkait dengan industri anime, dan para pemberi kerja masih tidak jelas. Namun, sanggup diperkirakan bahwa ada 430 rumah produksi anime di Jepang. Dan diantaranya, ada sekitar 264 (atau 61.4%) yang terkonsentrasi di tempat Tokyo yang mempunyai 23 bangsal pusat, dengan tempat Nerima dan Suginami yang mendominasi jumlah tersebut. Sebagian besar perusahaan memproduksi anime untuk jadwal serial TV.

Aktivitas pendanaan (=permodalan) di industri anime sangat beragam. Konten semacam anime sebelumnya dianggap tidak berharga dan tidak bisa mengatakan jaminan kesuksesan, jadi zaman dulu sangat susah memperoleh modal produksi.

Pada tahun 2004, pendanaan anime Japan untuk pertama kalinya dipelopori oleh campuran dari Gonzo, Japan Digital Contents, Rakuten Securities, dan JET Securities.  Tahun 2005, Japan Digital Contents bersama dengan Organisasi Perusahaan Kecil dan Menengah dan Inovasi Regional--sebuah biro pemerintah independen--saling mengumpulkan 500 Juta Yen untuk memulai acara investasi mereka dalam hal penyediaan pendanaan untuk produksi konten anime. Dan juga, industri perbankan Jepang telah mengubah perilaku konservatif mereka dan Mizuho Bank kini menjadi salah satu bank paling berangasan memperluas pendanaan pada industri berbasis konten anime.

Lebih jauh lagi, sistem produksi konsorsium untuk pengadaan dana juga telah meningkat. Ini alasannya yaitu setiap pemain besar mau untuk mengembangkan risiko finansial secara adil, semoga pemain kecil sanggup bernafas lega alasannya yaitu minimnya risiko yang harus mereka tanggung. Diversifikasi pengadaan modal memainkan peranan penting bagi kesuksesan pertumbuhan industri anime.

Walaupun anime Jepang telah menjadi sorotan di luar negeri, industrinya sendiri masih berkutat dalam dilema menyerupai pemotongan biaya produksi, kekurangan animator, dan ketergantungan pada sistem produksi berbasis outsourcing.

1) Pemotongan biaya produksi

Satu episode untuk serial anime TV berdurasi 30 menit pada umumnya memerlukan dana sebesar 10 Juta Yen (setara Rp 1,03 Miliar), sementara ada beberapa perusahaan yang hanya bisa meraup pendapatan 5 Juta Yen saja per episodenya. Kebanyakan perusahaan yang menciptakan anime TV
selalu merugi, dan menciptakan mereka berusaha menutup kerugian dengan cara menyerupai penjualan VCD, DVD, dan produk berbasis aksara anime mereka (misalnya: figurin atau plastic model)

Dengan demikian, upah rendah di industri anime telah mendukung meningkatnya perpindahan besar-besaran para animator ke industri game atau industri lainnya yang 'lebih manusiawi'. Para karyawan di perusahaan kecil tidak dibayar dalam bentuk honor bulanan, atau bahkan tidak menerima kepastian bahwa upah mereka akan stabil.

Dalam kasus perusahaan yang menjadi sub-kontraktor untuk stasiun TV, volume pekerjaan dan pendanaan yang tidak menentu menjadi penyebab kualitas produksi yang menurun dan mematikan kreativitas para animator yang superior.

2) Perpindahan metode sistem produksi ke outsourcing dan pembinaan animator

Beberapa tahun terakhir, produksi anime sudah semakin dilakukan dengan cara outsourcing. Hal ini termasuk pengiriman cetakan original dan data digital lainnya ke perusahaan produksi anime di Tiongkok, Korea Selatan, dan dimana pun, yang hasil hasilnya nanti sudah berada di tahap coloring. Toei Animation mempunyai sekitar 130 people di studionya di Filipina. Ghibli menyerahkan pecahan sub-kontraktor nya di film Spirited Away ke perusahaan-perusahaan Korea Selatan, dan mengatakan sebuah fakta bahwa semakin jarangnya sebuah karya anime Jepang yang murni 100% milik Jepang.

Tahap planning, directing, dan tahap-tahap lainnya yang memerlukan keahlian tingkat lanjut tetap dipertahankan di Jepang. Sementara itu, animating, coloring, dan tahap-tahap operasional yang sifatnya rutin dipasrahkan pada negara-negara lainnya. Akibatnya, sebuah proses pendidikan dimana para staf muda seharusnya masih mendapatkan pembelajaran dasar-dasar kemampuan animasi mengalami penurunan di Jepang. Ini bisa disebut sebagai kondisi ancaman terkait dengan kapabilitas produksi industri animasi Jepang itu sendiri.

Apalagi, Korea Selatan, yang sebelumnya bertindak sebagai sub-kontraktor bagi Jepang, telah tetapkan planning dan kebijakan nasional untuk mempromosikan industri anime lokalnya, sebagai berkah dari akumulasi pengalaman mereka beberapa tahun terakhir. Hampir semua animasi di layar beling Korea Selatan dulunya berasal dari Jepang. Namun kini ada sekitar 30-40% animasi yang diproduksi oleh Korea Selatan sendiri. Dikhawatirkan bahwa 'kebodohan' Jepang ini akan meningkatkan persaingan di skala global dan membahayakan fondasi ekonomi dari industri animasi Jepang itu sendiri.

Langkah darurat telah diambil dengan mendirikan forum-forum untuk para animator yang mempunyai keahlian tingkat tinggi untuk melatih orang-orang yang membutuhkan kemampuan mereka. Di Production IG, yang mengerjakan film Innocence, daya saing dijaga dengan mengawasi seluruh proses produksi di dalam 'rumahnya' untuk memastikan kualitas output yang dihasilkannya. Dengan sistem semacam ini, banyak animator yang mencapai pendapatan sebesar 10 Juta Yen setahun.

Sekolah vokasi dan sarjana anime Jepang yang pertama kali dijadwalkan didirikan pada bulan April 2006, akan dijadikan sebagai lokasi untuk melatih sumber daya insan dengan kemampuan tingkat lanjut yang dibutuhkan oleh industri animasi dikala ini. Ini yaitu sebuah Joint-Venture yang diarahkan oleh Wao Corporation, yang mendirikan sekolah vokasi untuk melatih para animator pertama kalinya pada tahun 1997.

Studio Ghibli: Model Kesuksesan Anime

Karya-karya milik Studio Ghibli sanggup dijadikan sebagai teladan model untuk sistem produksi anime. Studio Ghibli mempunyai metode yang sudah teruji dengan kontribusi dari para stasiun TV, para penerbit, para biro periklanan, dan lain-lain di bawah konsep produksi berbasis konsorsium yang menghasilkan karya-karya berkualitas tinggi dan mempunyai sistem pengadaan modal yang stabil.

Untuk kasus Spirited Away, konsorsium yang dibuat bersama dengan Tokuma Shoten Publishing, Nippon Television Network, Dentsu (agensi periklanan Jepang terbesar), Tohokushinsha Film, dan lain-lainnya berhasil mengumpulkan 2,5 Miliar Yen untuk biaya produksi. Para perusahaan yang berpartisipasi di konsorsium tersebut membagi biaya produksi dan laba menurut besaran investasi yang mereka serahkan.

Oleh alasannya yaitu pendapatan dari ketiga sumber (bioskop, video/DVD dan TV) sudah diantisipasi sebelumnya, tidak heran jikalau perusahaan-perusahaan tersebut ambil pecahan dalam konsorsium tersebut, dan bahwa eksistensi mereka turut memperkuat proses pemasaran film tersebut. Biaya produksi film anime Spirited Away bisa dikatakan cukup raksasa, dengan pertimbangan bahwa sebuah film Jepang yang bisa memperoleh pendapatan 1 Miliar Yen sudah bisa dikatakan sebagai sukses besar.

Kesuksesan Studio Ghibli telah membangkitkan kembali minat perusahaan lainnya menyerupai Toei Animation untuk mengerjakan film anime berbasis waktu tayang bioskop. Perusahaan lainnya juga mempertimbangkan untuk memproduksi film-film bioskop dengan kualitas lebih tinggi--walaupun biayanya juga akan lebih tinggi--dan merilis film tersebut beserta tipe anime lainnya ke luar negeri.


to be continued...

[Topic] Tren Industri Animasi Di Jepang: Laporan Jetro Pada Tahun 2005 (Bagian 1)

JFANindo game | manga | tokusatsu | musik
Berikut ini yaitu sebuah postingan yang saya sadur dari laporan tahunan JETRO (Japan External Trade Organization) mengenai perkembangan situasi industri animasi Jepang pada tahun 2005. Memang ini yaitu topik yang sangat usang dan mungkin ada yang sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang. Namun, setidaknya kita bisa mengetahui dinamika sejarah animasi Jepang modern dari laporan ini.

-------------------------------------------------------

Ringkasan

Industri anime Jepang sedang menjadi pusat perhatian, tidak hanya di Jepang namun juga di dunia. Di tengah semakin meluasnya pasar domestik untuk film, televisi, dan video animasi orisinal, para produser animasi Jepang juga mengalihkan sasaran mereka pada pasar luar negeri. Pada dikala yang sama, perkembangan gres mulai terlihat dalam hal ragam metode pendanaan untuk memproduksi sebuah animasi. Namin demikian, industri animasi Jepang sedang berjuang keras untuk mengatasi kurangnya suplai tenaga kerja untuk keahlian tertentu, pengurangan perusahaan animasi dalam negeri, dan tantangan untuk mengekspansi kegiatan operasional mereka di luar negeri.


Gambaran Pasar Animasi di Jepang

Berbicara wacana pasar animasi di tahun 2004, tidak akan terlepas dari salah satu masterpiece Studio Ghibli: Howl’s Moving Castle, yang merupakan karya pertama mereka selama 3 tahun terakhir. yang dirilis pada November 2004. Karya dari Hayao Miyazaki ini mencatat rekor jumlah penonton lebih dari 10 juta hanya dalam 44 hari, lebih cepat daripada film apapun di Jepang.

Popularitasnya pun terus menanjak dengan jumlah penonton yang mencapai 14,23 juta pada tanggal 8 Maret 2005, memecahkan rekor dari film yang digarapnya sendiri berjudul Princess Mononoke dan menempatkannya sebagai runner-up di dalam sejarah industri perfilman Jepang.

Pertanyaannya adalah, seberapa erat film itu akan menyaingi rekor film Spirited Away yang pernah mencapai 23,5 juta penonton dan menjadi film terbaik Jepang sepanjang masa. Howl’s Moving Castle juga telah dirilis di Korea Selatan dan banyak negara, termasuk 60 kota di penjuru Amerika Serikat pada Juni 2005.

Animasi Jepang (“anime”) telah usang dikenal dan diakui oleh dunia alasannya yaitu isi dongeng dan budaya berbasis Jepang-nya yang orisinil, hingga pada sebuah tingkatan yang disebut sebagai “Japanimation”. Para animator dari Amerika Serikat dan negara-negara Asia lainnya berulang kali menyatakan impian mereka untuk bisa bekerja di bidang produksi animasi Jepang, menunjukan bahwa animasi Jepang dipandang sebagai ladang para profesional yang terdepan di bidangnya. Apalagi kesuksesan film Spirited Away dari segi komersial terang memperlihatkan manfaat ekonomi dari animasi Jepang dan daya saing internasional di mata pelaku bisnis global.

Seluruh dunia terang melihat animasi Jepang sebagai ladang bisnis yang mempunyai potensi besar.

Namun demikian, industri ini belum juga menyesuaikan struktur bisnisnya untuk merespon undangan dari luar negeri. Lebih jauh lagi, industri animasi Jepang dihentikan puas hanya alasannya yaitu bisa melaksanakan perluasan ke luar negeri. Pengembangan sistem produksi/distribusi dan sumber daya insan yang penting harus dilakukan untuk sanggup merealisasikan peluang bisnis global untuk anime dan konten kreatif lainnya.

Sistem produksi intinya telah mempunyai struktur yang solid, namun industri nya sendiri masih mempunyai kelemahan besar dalam hal distribusi dan hak cipta di tingkat domestik dan atau global, misalnya: licensing dan keahlian melaksanakan bisnis dalam skala internasional. Dalam hal pengembangan sumber daya manusia, para animator dianggap tidak mempunyai status sosial yang layak. Kaprikornus perpindahan besar-besaran mereka ke industri lain dan negara lain menjadi dilema besar bagi Jepang.


Pergeseran Market Size di Jepang

Pasar domestik animasi Jepang bisa dibagi ke dalam tiga kategori umum:
1) Feature-length films --> anime yang tayang di Bioskop atau Movie Theater kecil lainnya.
2) TV shows --> anime yang tayang di TV; biasanya berformat serial dan ber-season.
3) Versi Video dan DVD dari keduanya di atas, dan OVA (Original Video Animation)

Menurut Media Development Research Institute, penjualan di pasar animasi Jepang jatuh sebanyak 10,4% menuju angka 191,2 Miliar Yen di tahun 2003 (bisa dilihat di Fig 1 di bawah). Pendapatan tersebut berasal dari penjualan tiket bioskop untuk film anime, biaya upah untuk produksi anime berseri di TV, dan laba dari penjualan serta penyewaan Video dan DVD.


Lonjakan pendapatan yang terjadi di tahun 2001 dan 2002 lebih dikarenakan oleh kesuksesan film Spirited Away (30,4 Miliar Yen) di tahun 2001 dan berlanjut dalam bentuk DVD di tahun 2002. Kurangnya masterpiece menyerupai itu mengakibatkan pasar tahun 2003 jadi lesu. Namun penjualan tahun 2004 diestimasi kembali tumbuh alasannya yaitu kesuksesan Howl’s Moving Castle.

Pasar untuk konten anime, termasuk lisensi aksara dan merchandise (penjualan hak semoga seseorang/perusahaan lain sanggup memakai gambar aksara anime di dalam produk mereka, dan juga penjualan mainan aksara anime tersebut) diperkirakan mencapai 2 Triliun Yen. (Note: jumlah tersebut setara dengan 0,45% dari total GDP Jepang untuk tahun 2004 yang sebesar 442 Triliun Yen / 4,3 Miliar US$; asumsi nilai tukar 102.98 JPY/US$)


Struktur Industri

Figure 2 di bawah ini mengatakan citra praktis wacana struktur industri anime. Diagram di bawah yaitu teladan kasatmata untuk serial anime TV secara umum. Tentu saja, situasi yang bergotong-royong sanggup bermacam-macam bentuknya untuk setiap jadwal TV atau film, terutama pada tahap perencanaan/planning.


Stasiun TV, agensi iklan, perusahaan mainan, dan studio produksi anime membentuk sebuah konsorsium (pembiayaan bersama suatu proyek atau perusahaan yang dilakukan oleh dua atau lebih bank atau lembaga keuangan) untuk mengeksekusi tahap perencanaan secara bersama.

Perusahaan mainan bergabung pada tahap ini alasannya yaitu eksistensi mereka sangat dibutuhkan untuk sanggup mengekploitasi kegunaan sekunder para aksara anime (khususnya di serial anime TV). Kegiatan produksi yang bergotong-royong dilakukan oleh pihak kontraktor utama yang didukung oleh para sub-kontraktor di beberapa fase produksi.

Statistik yang terkait dengan para seorang jago anime, para pengusaha yang terkait dengan industri anime, dan para pemberi kerja masih tidak jelas. Namun, sanggup diperkirakan bahwa ada 430 rumah produksi anime di Jepang. Dan diantaranya, ada sekitar 264 (atau 61.4%) yang terkonsentrasi di tempat Tokyo yang mempunyai 23 bangsal pusat, dengan tempat Nerima dan Suginami yang mendominasi jumlah tersebut. Sebagian besar perusahaan memproduksi anime untuk jadwal serial TV.

Aktivitas pendanaan (=permodalan) di industri anime sangat beragam. Konten semacam anime sebelumnya dianggap tidak berharga dan tidak bisa mengatakan jaminan kesuksesan, jadi zaman dulu sangat susah memperoleh modal produksi.

Pada tahun 2004, pendanaan anime Japan untuk pertama kalinya dipelopori oleh campuran dari Gonzo, Japan Digital Contents, Rakuten Securities, dan JET Securities.  Tahun 2005, Japan Digital Contents bersama dengan Organisasi Perusahaan Kecil dan Menengah dan Inovasi Regional--sebuah biro pemerintah independen--saling mengumpulkan 500 Juta Yen untuk memulai acara investasi mereka dalam hal penyediaan pendanaan untuk produksi konten anime. Dan juga, industri perbankan Jepang telah mengubah perilaku konservatif mereka dan Mizuho Bank kini menjadi salah satu bank paling berangasan memperluas pendanaan pada industri berbasis konten anime.

Lebih jauh lagi, sistem produksi konsorsium untuk pengadaan dana juga telah meningkat. Ini alasannya yaitu setiap pemain besar mau untuk mengembangkan risiko finansial secara adil, semoga pemain kecil sanggup bernafas lega alasannya yaitu minimnya risiko yang harus mereka tanggung. Diversifikasi pengadaan modal memainkan peranan penting bagi kesuksesan pertumbuhan industri anime.

Walaupun anime Jepang telah menjadi sorotan di luar negeri, industrinya sendiri masih berkutat dalam dilema menyerupai pemotongan biaya produksi, kekurangan animator, dan ketergantungan pada sistem produksi berbasis outsourcing.

1) Pemotongan biaya produksi

Satu episode untuk serial anime TV berdurasi 30 menit pada umumnya memerlukan dana sebesar 10 Juta Yen (setara Rp 1,03 Miliar), sementara ada beberapa perusahaan yang hanya bisa meraup pendapatan 5 Juta Yen saja per episodenya. Kebanyakan perusahaan yang menciptakan anime TV
selalu merugi, dan menciptakan mereka berusaha menutup kerugian dengan cara menyerupai penjualan VCD, DVD, dan produk berbasis aksara anime mereka (misalnya: figurin atau plastic model)

Dengan demikian, upah rendah di industri anime telah mendukung meningkatnya perpindahan besar-besaran para animator ke industri game atau industri lainnya yang 'lebih manusiawi'. Para karyawan di perusahaan kecil tidak dibayar dalam bentuk honor bulanan, atau bahkan tidak menerima kepastian bahwa upah mereka akan stabil.

Dalam kasus perusahaan yang menjadi sub-kontraktor untuk stasiun TV, volume pekerjaan dan pendanaan yang tidak menentu menjadi penyebab kualitas produksi yang menurun dan mematikan kreativitas para animator yang superior.

2) Perpindahan metode sistem produksi ke outsourcing dan pembinaan animator

Beberapa tahun terakhir, produksi anime sudah semakin dilakukan dengan cara outsourcing. Hal ini termasuk pengiriman cetakan original dan data digital lainnya ke perusahaan produksi anime di Tiongkok, Korea Selatan, dan dimana pun, yang hasil hasilnya nanti sudah berada di tahap coloring. Toei Animation mempunyai sekitar 130 people di studionya di Filipina. Ghibli menyerahkan pecahan sub-kontraktor nya di film Spirited Away ke perusahaan-perusahaan Korea Selatan, dan mengatakan sebuah fakta bahwa semakin jarangnya sebuah karya anime Jepang yang murni 100% milik Jepang.

Tahap planning, directing, dan tahap-tahap lainnya yang memerlukan keahlian tingkat lanjut tetap dipertahankan di Jepang. Sementara itu, animating, coloring, dan tahap-tahap operasional yang sifatnya rutin dipasrahkan pada negara-negara lainnya. Akibatnya, sebuah proses pendidikan dimana para staf muda seharusnya masih mendapatkan pembelajaran dasar-dasar kemampuan animasi mengalami penurunan di Jepang. Ini bisa disebut sebagai kondisi ancaman terkait dengan kapabilitas produksi industri animasi Jepang itu sendiri.

Apalagi, Korea Selatan, yang sebelumnya bertindak sebagai sub-kontraktor bagi Jepang, telah tetapkan planning dan kebijakan nasional untuk mempromosikan industri anime lokalnya, sebagai berkah dari akumulasi pengalaman mereka beberapa tahun terakhir. Hampir semua animasi di layar beling Korea Selatan dulunya berasal dari Jepang. Namun kini ada sekitar 30-40% animasi yang diproduksi oleh Korea Selatan sendiri. Dikhawatirkan bahwa 'kebodohan' Jepang ini akan meningkatkan persaingan di skala global dan membahayakan fondasi ekonomi dari industri animasi Jepang itu sendiri.

Langkah darurat telah diambil dengan mendirikan forum-forum untuk para animator yang mempunyai keahlian tingkat tinggi untuk melatih orang-orang yang membutuhkan kemampuan mereka. Di Production IG, yang mengerjakan film Innocence, daya saing dijaga dengan mengawasi seluruh proses produksi di dalam 'rumahnya' untuk memastikan kualitas output yang dihasilkannya. Dengan sistem semacam ini, banyak animator yang mencapai pendapatan sebesar 10 Juta Yen setahun.

Sekolah vokasi dan sarjana anime Jepang yang pertama kali dijadwalkan didirikan pada bulan April 2006, akan dijadikan sebagai lokasi untuk melatih sumber daya insan dengan kemampuan tingkat lanjut yang dibutuhkan oleh industri animasi dikala ini. Ini yaitu sebuah Joint-Venture yang diarahkan oleh Wao Corporation, yang mendirikan sekolah vokasi untuk melatih para animator pertama kalinya pada tahun 1997.

Studio Ghibli: Model Kesuksesan Anime

Karya-karya milik Studio Ghibli sanggup dijadikan sebagai teladan model untuk sistem produksi anime. Studio Ghibli mempunyai metode yang sudah teruji dengan kontribusi dari para stasiun TV, para penerbit, para biro periklanan, dan lain-lain di bawah konsep produksi berbasis konsorsium yang menghasilkan karya-karya berkualitas tinggi dan mempunyai sistem pengadaan modal yang stabil.

Untuk kasus Spirited Away, konsorsium yang dibuat bersama dengan Tokuma Shoten Publishing, Nippon Television Network, Dentsu (agensi periklanan Jepang terbesar), Tohokushinsha Film, dan lain-lainnya berhasil mengumpulkan 2,5 Miliar Yen untuk biaya produksi. Para perusahaan yang berpartisipasi di konsorsium tersebut membagi biaya produksi dan laba menurut besaran investasi yang mereka serahkan.

Oleh alasannya yaitu pendapatan dari ketiga sumber (bioskop, video/DVD dan TV) sudah diantisipasi sebelumnya, tidak heran jikalau perusahaan-perusahaan tersebut ambil pecahan dalam konsorsium tersebut, dan bahwa eksistensi mereka turut memperkuat proses pemasaran film tersebut. Biaya produksi film anime Spirited Away bisa dikatakan cukup raksasa, dengan pertimbangan bahwa sebuah film Jepang yang bisa memperoleh pendapatan 1 Miliar Yen sudah bisa dikatakan sebagai sukses besar.

Kesuksesan Studio Ghibli telah membangkitkan kembali minat perusahaan lainnya menyerupai Toei Animation untuk mengerjakan film anime berbasis waktu tayang bioskop. Perusahaan lainnya juga mempertimbangkan untuk memproduksi film-film bioskop dengan kualitas lebih tinggi--walaupun biayanya juga akan lebih tinggi--dan merilis film tersebut beserta tipe anime lainnya ke luar negeri.


to be continued...

Tidak ada komentar

Terima Kasih sudah berkunjung...
SEMPATKAN MENGISI NAMA JIKA KOMENTAR, no spam!
Silahkan lihat seluruh konten situs ini di Daftar Isi [lengkap]
Diskusikan segala hal berbau Jepang di Forum JFANindo Register dulu ya ^_^