Halaman

    Social Items

Visit Namina Blog
Selama dua puluh tahun terakhir ini, penerimaan yang baik terhadap proses ekspor budaya yang dilakukan oleh Jepang ke seluruh dunia—yang banyak dikenal sebagai proyek “COOL JAPAN” ini—telah menggiring banyak akademisi untuk melaksanakan penelitian lebih mendalam ihwal proyek tersebut; terutama di sini saya berbicara mengenai penelitian ilmiah terhadap animasi Jepang.



Di Jepang, anime yakni istilah umum yang dipakai untuk menyebut semua jenis animasi yang ada, tak peduli dari mana asal negara daerah animasi tersebut diproduksi. Namun, di luar Jepang, istilah ini secara spesifik hanya dipakai untuk menyebut animasi Jepang. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, animasi dan kartun dari Jepang lebih dikenal dengan istilah Japanimation di Amerika. Namun, menginjak tahun 1990-an, istilah tersebut berganti dengan istilah anime dan hal itu tetap bertahan hingga sekarang.

Meskipun sudah banyak penelitian yang bertemakan anime, kebanyakan akademisi yang telah melaksanakan penelitian, termasuk juga para generasi muda (baca: mahasiswa-mahasiswi maniak Jepang) di Indonesia, masih terlalu memfokuskan sudut pandangnya pada konteks budaya, sosial, dan politik soft power yang dibawanya. Tidak begitu banyak ditemukan literatur-literatur akademik secara bebas yang mencoba mengupas segi ekonomi dan bisnis yang tak kalah menariknya untuk dibahas bagi sebagian dari penggemar sub-kultur Jepang yang satu ini.

Oleh alasannya yakni itulah, mulai dari dikala ini saya akan mencoba untuk mengumpulkan semua penelitian ilmiah yang dapat saya temukan, yang berfokus pada konteks ekonomi dan bisnis dari industri animasi Jepang ini—tidak tertutup kemungkinan juga industri manga dan light novel—untuk kemudian akan saya rangkum dan bagikan hasil-hasil penting dari penelitian ilmiah tersebut kepada para pihak yang berkepentingan terhadap ilmu dan temuan semacam ini.

Sebagai pembukaan dari tujuan personal saya ini, saya berencana untuk menulis sebuah artikel berseri untuk membahas ihwal sebuah artikel ilmiah yang ditulis oleh Dr. Nissim Kadosh Otmazgin, seorang dosen senior dari Departemen Studi Asia Timur, Universitas Ibrani Yerusalem. Artikel ini sendiri telah dimuat dalam jurnal ilmiah Kanada berjudul Pacific Affairs Volume 87, No. 1 pada bulan Maret 2014 yang lalu.

Dr. Nissim Kadosh Otmazgin

Beliau mendeskripsikan bahwa perjuangan pemasaran anime untuk melaksanakan penetrasi pasar di Amerika Serikat—salah satu negara dengan pasar media terbesar di dunia—tidak terlepas dari tugas krusial (1) para fans maniaknya sebagai para ‘agen budaya’, (2) dampak globalisasi yang semakin mengaburkan batas antar negara, (3) domestikasi konten anime untuk menyesuaikan selera pasar, dan (4) alasannya yakni anime itu sendiri merupakan salah satu bab dari soft power yang dimiliki pemerintah Jepang itu sendiri.

Otmazgin melaksanakan penelitian ini dengan beberapa metode. Yang pertama yakni wawancara pribadi dengan orang-orang kunci di dalam industri anime Jepang maupun Amerika itu sendiri. Di samping itu juga dengan penelitian lapangan berbentuk survei pasar. Fokus dari artikel yang ditulisnya yakni pada aspek organisasional dari pasar anime di Amerika Serikat semenjak pertengahan 1990-an hingga tahun 2010-an, dengan lebih spesifik lagi yaitu tugas para pebisnis yang secara aktif berperan penting dalam menjembatani kekakuan organisasional dan keperbedaan budaya terkait tantangan yang harus dihadapi anime di pasar internasional.

Penasaran dengan kelanjutan isinya? Nantikan kelanjutan pembahasan dari artikel berjudul Anime in the US: The Entrepreneurial Dimensions of Globalized Culture hanya di Japanimation Indonesia ini.
(bersambung)

[Jurnal Ilmiah] Anime In The Us: The Entrepreneurial Dimensions Of Globalized Culture - Abstraksi


Lahir di Kamakura pada tahun 1930, Akiyuki Nosaka tidak begitu mempunyai masa kanak-kanak yang bahagia. Ibunya meninggal sesudah melahirkan dirinya dua bulan kemudian. Ayah angkatnya tewas alasannya serangan udara di Kobe pada masa penutupan Perang Dunia II. Nosaka yang beranjak remaja juga harus kehilangan abang perempuannya alasannya suatu penyakit dan adik perempuannya juga meninggal akhir kelaparan sesudah mengungsi dari rumah mereka.

Nosaka kemudian berniat untuk menyalurkan rasa sakit dari pengalaman-pengalaman ini ke dalam novel semi-autobiografi nya yang berjudul "Grave of the Fireflies". Novel ini dirilis dikala Nosaka berumur 37 tahun dan mendapat penghargaan Naoki Prize untuk kategori karya sastra pada tahun 1967. Meskipun novelnya sendiri mempunyai daya eksposur dan promosi yang terbatas untuk hingga ke luar negeri, novel tersebut disesuaikan ke dalam bentuk animasi berformat movie pada 1988 yang meraih apresiasi di dunia internasional alasannya alur ceritanya yang sangat kuat. Studio Ghibli yang menciptakan animasinya, dan juga dikepalai oleh salah satu ikon industri animasi Jepang berjulukan Isao Takahata.


Nosaka menderita stroke pada tahun 2003, dan sejak itu selalu mendapat perawatan intensif dari sang istri di rumah mereka di Tokyo. Pagi hari tanggal 9 December 2015 dua hari yang lalu, sekitar pukul 10:30 waktu setempat, sang istri mendapati bahwa suaminya sudah tidak bernafas lagi. Sang novelis yang berusia 85 tahun segera dilarikan ke rumah sakit, dimana ia dipastikan telah meninggal dunia oleh para staf medis di sana.

Selain bersama dengan sang istri, Nosaka hidup bersama dengan dua putrinya yang merupakan eks member Takarazuka, sebuah grup panggung sandiwara dimana semua anggotanya yaitu wanita dan mereka sangat populer di Jepang. Berpulangnya salah satu penulis yang paling dihormati di Jepang ini meninggalkan kesedihan yang amat dalam, baik bagi para fans novelnya maupun animasinya. Dan kepergiannya yang sangat tiba-tiba, menyerupai yang digambarkan oleh karya terbaik Nosaka sendiri, yaitu sebuah peringatan yang khusyuk bagi kita ihwal betapa berharganya sebuah kehidupan.

sumber: http://en.rocketnews24.com/2015/12/10/akiyuki-nosaka-celebrated-author-of-grave-of-the-fireflies-passes-away/

Akiyuki Nosaka, Novelist Grave Of Fireflies, Tutup Usia

Banyak penulis naskah anime maupun light novelis yang terkenal justru memulai awal karirnya dari dunia game dewasa. Bagaimanakah pengalaman mereka bisa mempunyai kegunaan pada media yang berbeda-beda, dan apa diam-diam kesuksesan mereka?


Mungkin banyak dari antara kita yang menyukai sub-kultur Jepang, terutama dalam hal anime, game, dan manga, yang tidak menduga bahwa banyak penulis serial TV anime yang terkenal di Jepang mengawali karirnya sebagai penulis kisah eroge (kependekan dari erotic game; permainan dengan konten remaja di dalamnya).

Penulis anime psycho-horror yang moe Gakkougurashi! (School Live!), Norimitsu Kaiho, dan penulis dari manga maupun anime Charlotte, Jun Maeda. Keduanya menulis eroge sebelum berpindah haluan ke jalur anime dan manga yang mainstream. Fenomena ini terjadi di industri light novel juga. Beberapa penulis yang LN-nya termasuk best-seller yaitu mantan penulis kisah eroge . Bahkan, naik drastisnya kepopuleran light novel di Jepang ketika ini yaitu berkat mereka juga.

Ada beberapa alasan dibalik derasnya arus perpindahan para penulis kisah eroge ke industri anime dan light novel yang mainstream.


Setidaknya ada tiga alasan yang membuat para editor light novel cenderung mau untuk menyewa penulis kisah eroge.

Alasan #1: Pengakuan atas nama besar mereka. Mereka sudah mempunyai masing-masing fans dan pengikut, jadi pastinya akan ada respon kasatmata terhadap debut profesional mereka, yaitu menjadi jantung dari light novel tersebut. Dan nantinya akan simpel untuk meningkatkan keefektifan publikasi karya tersebut di antara para fansnya.

Alasan #2: Mereka bekerja dengan cepat. Para penulis kisah eroge biasanya sudah terbiasa menulis sebuah kisah untuk gamenya yang setara dengan beberapa buku light novel. Makara mereka cenderung menulis lebih cepat daripada kebanyakan light novelis biasa. Novel yang telah rilis dan berserial biasanya mempunyai kegiatan deadline yang ketat, oleh karenanya para penulis yang bisa bekerja dengan cepat akan sangat dihargai tinggi.

Alasan #3: Mereka mempunyai imbas luas di industri itu sendiri. Dan oleh karenanya, akan sangat memudahkan mereka untuk mencari partner ilustrator yang sangat bagus. Para penulis sanggup menghubungi para ilustrator itu secara langsung, dan alasannya nama mereka sudah cukup terkenal, biasanya para ilustrator akan lebih dari sangat bahagia untuk mendapatkan usulan dari mereka.


Para penulis eroge juga mempunyai banyak pengalaman untuk menuliskan kisah yang "mengalir" dengan sempurna. Itu yaitu poin utamanya. Sebuah eroge mempunyai kuantitas isi yang setara dengan 5-10 light novel. Supaya bisa menulis kisah yang sangat panjang, kalian akan butuh keahlian menulis yang khusus yang tidak dimiliki oleh para penulis pada umumnya, yaitu:

1) Sense membangun sebuah dunia dan latar belakang konsep yang bagus.
2) Kemampuan untuk membuat sejumlah huruf dan bisa mengupas latar belakang mereka masing-masing secara mendalam.
3) Apa yang disebut sebagai sense of pacing, dan itu menyerupai sebuah pengetahuan dan perasaan untuk kapan seharusnya memasukkan sebuah adegan drama ke dalam ceritanya.

Pengalaman yang dimiliki para penulis eroge di tiga area ini merupakan kekuatan terbesar mereka. Mereka mempelajari bagaimana para pembaca akan bereaksi terhadap sebuah kisah yang panjang. Atau dengan kata lain, siapa karakter, latar belakang, dan juga plot kisah yang akan sanggup diterima oleh para pembaca dan mana yang tidak.  

Light novel biasanya ditulis dengan pola dimana satu tema akan dipakai untuk sebuah seri (arc). Kemudian di tengah-tengah serial tersebut, elemen-elemen gres mulai ditambahkan. Namun, sangat sulit untuk memilih mana di antara elemen-elemen tersebut yang sanggup menangkap perhatian para pembaca. Di sisi lain, game eroge dibentuk dan disajikan sebagai sebuah kisah yang utuh. Makara sangat simpel untuk memilih apa yang diinginkan oleh para 'pemain'. Dari situlah mereka sanggup memilih apakah mereka akan bertahan dengan genre yang populer, atau ingin mencoba genre yang berbeda.


Eroge juga biasanya dirilis sudah dalam satu kesatuan kisah yang utuh dengan sebuah awal, tengah, dan tamat yang bisa pribadi dinikmati. Berbeda dengan light novel, yang tidak sanggup menyajikan sebuah tamat pada ketika pertama kali dirilis (kita gres bisa tahu risikonya ketika volume terakhir pun rilis). Para penulis eroge pun memulai segala sesuatunya dengan sebuah ending di pikiran mereka, jadi mereka tahu bagaimana caranya membuat sebuah kisah yang ritmenya seimbang. Light novel biasanya ditulis sebagai satu bab dari keseluruhan kisah berseri, sedangkan game ditulis sebagai satu kesatuan kisah yang utuh. Itulah perbedaannya.

Ambillah contoh, satu season untuk sebuah anime mengambil dan mengadaptasi kisah dari 2-3 volume light novel-nya. Namun, sebuah serial novel yang terkenal biasanya mempunyai 10 volume, jadi sangat jarang untuk sebuah kisah bisa diringkas dan berakhir hanya dengan 2-3 volume. Akan tetapi, para penulis yang punya pengalaman di dunia eroge bisa meringkas dan mengakhiri sebuah kisah yang cukup untuk setara 2-3 volume light novel saja, walaupun menggunakan media yang berbeda.



Para penulis harus memenuhi kebutuhan perusahaan penerbit dan juga merek terdaftarnya. Para penulis ini mempunyai pengalaman untuk mendengarkan majemuk opini dari luar dan menggabungkannya dalam sebuah cerita. Di dunia anime Jepang, dimana diskusi terbuka dan akbar merupakan bab dari proses produksinya, mereka menjadi semakin cakap dan lihai dalam menggabungkan opini-opini para anggota timnya dan mereka pun masih tetap bisa mempertahankan gaya menulis mereka yang unik.

[Topic] Mengapa Para Penulis Eroge Bisa Menguasai Pasar Anime Dan Light Novel?

Tokyo International Film Festival (selanjutnya akan disebut sebagai TIFF) telah digelar pada 22 Oktober 2015 kemarin dan berlangsung selama 10 hari. Anime yang dijadikan fokus untuk tahun ini yaitu Gundam. Pencipta anime ini, Yoshiyuki Tomino, juga muncul dalam sesi talk show sebagai bab dari proyek ini dan juga meluangkan waktu untuk mengadakan wawancara campuran kepada media-media internasional.

Profil Yoshiyuki Tomino

Produser, penulis naskah, dan director film-film anime Jepang. Lahir tahun 1941, ia memulai karirnya dengan ikut serta dalam proses produksi film serial anime Jepang yang paling pertama: Astro Boy dan Space Battleship Yamato. Mobile Suit Gundam—yang ia arahkan, tulis naskahnya, produksi, buat storyboard-nya, dan bahkan lirik lagunya pun ia tulis—menjadi fenomena sosial yang menumbuhkembangkan para fans kelas berat yang mengakar kuat. Kemudian, ia melanjutkan karirnya dalam banyak film dan program yang berafiliasi dengan serial Gundam. Tahun 2014, ia menduduki posisi sebagai administrator pembimbing untuk pertama kalinya dalam 15 tahun semenjak berakhirnya Turn A Gundam dan ia membuat Gundam Reconguista in G. Ia jga terlibat di dalam banyak anime selain serial Gundam, antara lain Space Runaway Ideon dan Aura Battler Dunbine.



Realitas Sebagai Kekuatan Motivasi Di Balik Segala Penciptaan
―Serial Gundam yaitu salah satu karya yang menjadi sorotan utama di TIFF tahun ini. Mohon berikan sepatah dua patah kata mengenai daya tarik pembiasaan Gundam ke dalam format movie dibandingkan dengan versi serial TV nya.

Yoshiyuki Tomino (T): Pada dasarnya saya membuat pembiasaan berformat movie agar pesan yang ingin saya sampaikan bisa tersampaikan lebih mudah. Dalam format serial TV, isi ceritanya terlalu terpecah-pecah, sehingga saya ingin menawarkan para fans sebuah kesan pencerahan dongeng dengan meringkas beberapa episode. Kaprikornus mereka akan menyadari, "Oh, jadi maksudnya film ini begitu toh." Saya pikir, walau ini hanya sebuah kompilasi, pembiasaan berformat movie akan membuatnya menjadi lebih gampang dipahami dan juga tersampaikan kepada para pemirsa. Dan inilah kenapa saya menginginkan pembiasaan dalam bentuk movie dibentuk juga pada dikala Mobile Suit Zeta Gundam .
―Dalam serial Gundam terbaru anda, serial TV Gundam Reconguista in G, anda mengadopsi ide wacana space elevator. Dan, menyerupai yang anda bilang pada wawancara sebelumnya, anda juga ingin mencoba mengupas konsep “Newtype.” Dimana semua ide gres dan tantangan ini muncul? Apa yang menjadi sumber desakan kreativitas anda?

T: Saya yaitu orang yang tidak bisa membuat dongeng yang berasa menyerupai anime, manga, atau novel pada umumnya. Oleh karenanya, semua yang riil yaitu motivasi saya.
―Realitas yaitu motivasi anda?

T: Misalnya saja, harapan untuk membuat orang-orang yang kepikiran sebuah ide kurang pintar wacana space elevator mengerti sejauh mana kebodohan mereka dengan membuat mereka berdecak, "Apa itu...?!". Atau memakai perasaan saya terhadap hal-hal faktual seperti, "Apa-apaan dengan sistem politik dan situasi global dikala ini?!" sebagai motivasi dan melancarkan argumen jawaban pada mereka.

―Argumen balasan?

T: Begini, saya tidak yakin kita bisa membuat sesuatu menyerupai space elevator di kenyataan. Saya berpikir, bila kita akan membuatnya di dunia nyata, itu hanya bisa terwujud dalam bentuk yang saya suguhkan pada kita semua di Gundam Reconguista in G. Saya ingin berkata, “Apa kalian tidak berpikir wacana infrastruktur transportasi yang diharapkan untuk membuat space elevator? Tentu saja tidak, alasannya kalian hanya berpikir yang penting bisa naik ke luar angkasa. Itu kan bodoh, namanya!"
 
Serial Gundam sebagai Sebuah karya Seni, Terindikasi dari Banyaknya Jumlah Fans dari Kalangan Perempuan
―Selama 35 tahun anda bekerja di serial Gundam, pergeseran demografi pemirsa tampaknya sedang terjadi. Oleh alasannya perubahan dunia yang cepat dan lingkungan yang penuh dengan internet, orang-orang dari segala penjuru dunia bisa melihat karya anda. Apa ada sesuatu yang Istimewa yang anda ingin mereka bisa lihat di karya-karya anda, atau sesuatu yang anda inginkan mereka untuk merasa?

T: Saya tidak berpikir itu hak kreator menyerupai saya untuk katakan atau harapkan. Ketika membuat Gundam Reconguista in G, saya berinteraksi dengan para fans untuk pertama kalinya sehabis sekian lama. Dan saya menyadari bahwa, tak diragukan lagi, ada yang namanya "fans masa kini," dan orang-orang yang berbeda dari zaman saya tersebut melihat karya-karya saya dari sudut pandang yang berbeda juga. Apa anda tahu bahwa kebanyakan dari fans awal serial Mobile Suit Gundam, the serial yang paling pertama dari sekian banyak serial dalam sejarah, yaitu kaum perempuan?
―Sangat mengejutkan untuk sebuah franchise seperti Gundam, dimana anda niscaya berpikir ini yaitu dongeng untuk para laki-laki.
T: Kita tidak akan pernah tahu jadinya akan menyerupai apa, bukan? Saya menyaksikan fenomena yang menyerupai dengan itu pada zaman ini juga. Saya menyadari bahwa cara saya membuat anime dan film layar lebar bukanlah suatu kesalahan.
―Maksud anda?
T: Film bioskop, serial TV anime—apa yang kita sebut sebagai sebuah seni—bukanlah sesuatu yang hanya orang-orang hebat dan elit saja yang bisa menikmati. Jika anda berpikir menyerupai ini, anda akan menyadari bahwa walaupun anda sudah membuat sesuatu yang akan disukai para fans anime mecha, bukan berarti karya anda akan dianggap sebaga sebuah karya seni.
Oleh karenanya, ketika saya melihat para fans wanita yang terkumpul oleh karya saya (dan saya melihat kecenderungan yang sama pada kali ini juga), saya berpikir, “Tidak salah lagi.” Saya berpikir ini yaitu kesempatan bagi Gundam untuk semakin dikenal lebih populer diseluruh dunia lagi. Jika fokusnya hanya di mecha-nya saja, karya ini hanya akan menggaet fanbase yang sempit dan terbatas kekuatannya untuk menyebarkannya ke seluruh dunia. Dan bila itu yang terjadi, tidak akan ada bedanya lagi meskipun kita sudah susah payah mengadaptasinya menjadi format movie. Sudah biayanya besar, itu pun akan menjadi pemborosan uang. Saya tidak ingin itu terjadi.

―Apa yang membuat anda yakin bahwa banyak fans perempuan?

T: Saya melihat tanda-tandanya ketika sehabis selesai proses produksinya. Ketika semuanya selesai, saya pergi ke sebuah program gathering untuk mereka yang ingin membeli Blu-ray nya. Dan saya terkejut melihat beberapa gadis jadinya masuk ke dalam. Awalnya, hanya mereka yang tahu bahwa “Tomino membuat sebuah serial TV anime tengah malam lagi sehabis 15 tahun lamanya” yang datang. Kaprikornus saya benar-benar merasa bahwa ini akan buang-buang waktu saja. Namun, itu berubah ketika saya menghitung bahwa dari 40 orang, ada sekitar 15-16 gadis berusia dibawah 20 tahun juga datang.
―Cukup banyak juga, yah.

T: Dan para produser serta penulis naskah serial Gundam sehabis saya justru tidak terlalu menyadari fakta semacam ini. Saya tidak habis pikir, betapa bodohnya mereka alasannya mengabaikannya. Seolah-olah mereka tidak mempunyai intuisi yang bagus. Menciptakan sebuah karya seni tidak bisa menyerupai itu.
―Jadi anda ingin berkata bahwa para kreator sebaiknya juga melihat siapa para calon pembelinya, siapa calon pemirsanya, lebih dalam lagi ke dalam pertimbangannya masing-masing?

T: Benar. Anda dihentikan membuat seseorang menjadi seorang kreator yang berpikir menyerupai ini, "Kita bisa membuat sebuah Gundam, jadi semuanya niscaya akan baik-baik saja." Dengan kata lain, di samping harus mempunyai selera untuk menyukai seni bioskop maupun drama teaterikal, bila tidak ada lagi kreator yang bisa mengikuti cara pikir ini, dunia Gundam tidak akan bisa lebih meluas lagi.

Mobile Suit Gundam: Pendukung Sentimen Anti Perang dan Mempertimbangkan Dunia Barat ke Dalamnya
 
―Apa alasan anda di balik menceritakan perang dari dua belah pihak yang berbeda di serial-serial Gundam? Dan juga, apakah anda meminta orang-orang yang punya pengalaman wacana perang untuk proses produksinya?

T: Mereka yang tumbuh besar di kurun 1960-an mempunyai pemahaman yang minim terhadap ingatan yang tersisa di kepala rakyat Jepang wacana perang yang terjadi 20 tahunan yang lalu. Di samping itu, saya bisa melaksanakan riset untuk apa yang disebut sebagai sejarah militer. Itu semua yaitu sumber ide paling fundamental saya.
Pada dikala itu, kebanyakan catatan sejarah ditulis menurut sudut pandang dari satu pihak saja. Namun, ketika anda berpikir wacana bagaimana sebuah peperangan terbentuk dari ratusan dan ribuan orang-orang yang saling berkumpul di masing-masing pihak, dan bila bukan alasannya masing-masing pihak mempunyai konsep 'kebenaran' nya sendiri, hal menyerupai perang mungkin tidak akan pernah terjadi.

Karena kebanyakan cerita-cerita sejarah kita selalu ditulis dari satu sudut pandang saja, saya pikir betapa bagusnya bila bisa ada dongeng yang bisa menampilkan (apa yang terjadi di) kedua belah pihak dari sudut pandang helicopter-view. Dan sehabis itu, kita menuangkannya dalam bentuk serial TV yang panjang, meskipun dalam bungkus anime robot. Saya merasa setting-an perang akan bisa menyuguhkan banyak materi yang menarik untuk ditunjukkan dari kedua belah pihak. Dan di Gundam, saya bertujuan untuk membuat sebuah dongeng yang bisa menangkap hal tersebut baik dari pihak sekutu kita maupun pihak musuh kita.
Apalagi bahwa anime yaitu sesuuatu yang orang awam biasanya tonton semenjak masa kecilnya. Jika anda hanya mengajarkan sebuah prinsip dan posisi kebenaran dari satu pihak saja, anda tak pelak akan mensugesti pola pikir mereka juga hingga dewasa. Ini yang menjadi kekhawatiran saya, dan itulah alasannya kenapa saya berhati-hati melihat situasi tersebut—perang—dari sudut pandang yang netral, di kawasan yang lebih tinggi.
―Apakah ada sentimen anti perang yang dibawa di dalam generasi pertama serial Mobile Suit Gundam, dimana anda menjadi director utamanya?

T: Tentu saja. Itu yaitu fakta.
―Anda melukiskan dua kepribadian yang berbeda dalam diri Char dan Amuro. Ketika membuat mereka berdua, apakah anda membuat mereka berdua bersamaan semenjak awal, atau justru satu per satu?

T: Jika anda hanya punya satu abjad untuk menjalankan sebuah drama, maka tidak ada konflik drama yang akan terjadi. Kaprikornus saya membuat mereka berdua bersamaan.

―Jika kita membandingkan Char dan Amuro, siapa yang lebih penting dalam serial ini? Atau anda menganggap mereka yaitu abjad yang mempunyai tugas penting yang sama tingkatannya?

T: Nah, itu pertanyaan yang sulit. Dalam proses pengarahan produksi dan memilih dramanya, Char lebih menarik. Namun, alasannya saya menempatkan Amuro sebagai protagonis di ceritanya, saya harus membuat banyak situasi yang sanggup menumbuhkannya sebagai abjad yang bisa kulawankan dengan Char. Dalam kasus Amuro, menemukan keseimbangannya (dengan Char) yaitu sangat sulit alasannya saya terlanjur membuatnya sebagai orang yang terlalu biasa.
 
Menghormati Para Pendahulu dan Meninggalkan Warisan Pada Anak-Anak Masa Depan
―Di Mobile Suit Gundam, ada berbagai adegan tamparan yang bahkan melahirkan sebuah quote terkenal "Bahkan ayahku pun tak pernah memukulku!" Apakah anda menganggap itu yaitu sebuah adegan yang penting?

T: Ya. Saya sangat sadar akan hal itu dan menganggapnya sebagai sesuatu yang penting. Apa yang ingin saya katakan adalah, anak anda membutuhkan anda untuk menawarkan pola teladan yang jelas. Hal tersebut juga ada di dalam kebudayaan Eropa, contohnya saja, dalam kehidupan kampus, kekerabatan antara anda dengan senior dan bau kencur anda. Di masa lalu, bahkan mendera dengan pecutan pun juga diterima sebagai salah satu caranya. Di mata orang-orang modern, yang mengganti tindakan-tindakan tersebut dengan istilah “kekerasan fisik,” masih ada juga tindakan-tindakan kecil yang sudah bisa dikategorikan sebagai kekerasan yang disengaja.

Oleh karenanya, saya pikir masih boleh untuk menampilkan adegan fisik semacam itu dalam karya drama atau fiksi, alasannya seseorang cepat atau lambat kelak harus berhadapan denagn situasi dimana mereka harus mengatasi rasa sakit mereka sendiri.
―Tentang abjad Char, bila kita bisa menganggap bahwa tokoh ini terinspirasi oleh Red Baron 1 dari sejarah Perang Dunia I, poin-poin mana saja yang anda jadikan sebagai referensi?
T: Dulu, tentu saja, saya menggunakannya sebagai rujukan saya. Masalahnya adalah, sehabis mendalami karir militer seorang Red Baron, anda menyadari bahwa sebagus apapun jasa seorang pilot, seorang tentara, sehebat apapun dirinya, intinya tidak punya efek penting dalam keseluruhan aspek dari sebuah perang.
Inilah yang saya pelajari wacana masa-masa itu melalui penelitian Perang Dunia I. Hal semacam 'jiwa ksatria' masih ada tersisa pada masa itu, dan baik Prussia maupun Blok Sekutu juga sangat menghormati para tentara. Namun, rasa hormat tersebut hilang seiring semakin panjangnya perang sipil Eropa yang juga berlangsung pada dikala sejarah militer tersebut.

Saya ingin memasukkan persoalan ini (ke dalam diri Char) pada dikala ingin mengadopsi (Red Baron) ke dalam tokoh saya. Bukankah menggabungkan sesuatu yang serupa dengan (1) kekerabatan antara Prussia, Prancis, dan Kerajaan Inggris dengan (2) Red Baron di tengah-tengah semangat orang-orang masa kemudian akan membuat perang tersebut menjadi tidak semakin berkepanjangan? Ini yang ingin saya coba untuk tunjukkan.

Ini yaitu sesuatu yang sesungguhnya saya ingin bilang lebih kepada orang-orang yang ada di lingkup kebudayaan Kristianitas, alasannya orang-orang Jepang sendiri tidak bisa melihatnya (karena budayanya berbeda). Mereka (orang-orang yang ada di lingkup kebudayaan Eropa) tidak menyadarinya. sama sekali. Mereka bersikap "tak ada bedanya", hingga di titik yang bisa membuat saya tersinggung. Latar belakang menyerupai ini yang sering kali membuat saya sering makan hati, ketika orang-orang memperlakukan Gundam sebagai anime wacana robot yang biasa sama menyerupai yang lain.
―Terakhir, serial Gundam sendiri mempunyai fans di seluruh dunia. Silahkan kirimkan pesan kepada para fans gres dan usang anda di seluruh dunia.

T: Jika ada di antara kalian yang mulai berpikir wacana sesuatu atau banyak hal alasannya Gundam, ini saatnya untuk lepas dari semua itu. Dan bila anda masih tidak sanggup menemukan jawabannya, lemparkan pertanyaan itu pada generasi penerus anda dan cobalah temukan jawabannya dari usaha mereka. Itu yaitu insan berilmu balig cukup akal yang ingin kita tuju atau menjadi.

Saya pikir bahwa generasi masa depan, yaitu para belum dewasa kita, akan tahu mengapa Gundam digambarkan dengan cara yang sama terus dan terus menerus, hingga mereka akan melihat sesuatu yang menyerupai mirip batasan-batasan yang insan buat di dalamnya. Saya ingin anda menembus batasan-batasan tersebut. Gundam terus berjuang keras selama serial-serialnya untuk menembus batasan itu. Saya akan sangat beryukur bila kalian semua bisa mempunyai pandangan semacam ini juga.

Interview Dengan Yoshiyuki Tomino, Sang Pencipta Gundam

Ada banyak alasan mengapa sebuah anime tidak akan mendapat kesempatan untuk tayang lagi dalam season terbaru. Apalagi kalau anime favoritmu merupakan bentuk pembiasaan dari karya lain menyerupai komik maupun light novel. Hal itu disebabkan oleh popularitas komik maupun LN yang lebih tinggi daripada anime di mata masyarakat Jepang secara umum. Faktor mobilitas dan fasilitas untuk 'mengkonsumsi' komik dan LN sepanjang perjalanan, serta relatif lebih ekonomis waktu, yaitu salah satu alasan utamanya.


Oleh karenanya, kebanyakan anime yang disesuaikan dari dua jenis karya tersebut diproduksi semata-mata hanya untuk mendorong penjualan material aslinya itu sendiri. Para studio animasi ingin kita untuk menuntaskan ceritanya dengan merujuk pada sumber aslinya, jadi kita kemungkinan besar tidak akan sanggup melihat season selanjutnya dari anime semacam ini. Ada juga beberapa alasan lain menyerupai rendahnya penjualan, problem ketenagakerjaan di dalam studio-studio animasi tersebut, kekurangan sumber material cerita, dan ada juga isu-isu sensitif dengan pembiasaan anime dari season sebelumnya.



GoBoiano telah merilis artikel terbaru mereka, yaitu wacana 14 judul anime yang berdasarkan mereka tidak akan mendapat season terbaru mereka. Berikut ini yaitu daftarnya:

***

14. Btooom!


Komiknya sendiri memang masih berlanjut dan masih sanggup untuk memperlihatkan materi material yang cukup untuk season yang baru. Namun lantaran pencatatan penjualannya sendiri sangat rendah, menciptakan kemungkinan adanya season terbaru menjadi sangat kecil.


13. Kokoro Connect 


Dua alasan yang mendasari anime ini tidak akan ada season barunya yaitu (1) keterbatasan material dongeng yang tak cukup untuk season baru, dan (2) adanya kontroversi jawaban skandal yang melibatkan para seiyuu-nya, dimana para seiyuu yang lebih terkenal melaksanakan bullying terhadap seiyuu pemeran utama anime ini yang notabene merupakan pendatang baru. Hal tersebut menciptakan sebagian besar fans yang mengetahuinya marah besar dan itu menjadi faktor penentu tidak dilanjutkannya pembicaraan mengenai season kedua anime ini.


12. Baccano


Baccano sendiri juga masih berlanjut terus dan itu menciptakan serial ini punya cukup material untuk dibuatkan season terbarunya. Namun penjualannya sendiri sangat rendah di Jepang. Selain itu, juga dikarenakan fokus penciptanya (Ryōgo Narita) tertuju pada serial besutannya yang lain: Durarara!!, yang lebih terkenal dan terbukti lebih menjual.


11. Kino no Tabi


Kino no Tabi tayang 12 tahun yang kemudian dan memang tidak akan mendapat season gres lagi, dikarenakan LN-nya sendiri tidak mempunyai banyak fans di Jepang. Namun demikian, karya ini mempunyai cerita yang sanggup menyedot masuk para pembaca ke dunianya dan jauh dari tipikal tema yang sejenis.


10. Highschool of the Dead


Komiknya sendiri berhenti dirilis sesudah adanya tragedi tsunami dan gempa bumi dahsyat Jepang. Daisuke Satō tidak merasa nyaman lagi meneruskan sebuah dongeng dengan tema apokaliptik dan oleh karenanya, serialnya berada dalam status hiatus permanen. Apalagi serial ini juga jadi tidak terlalu terkenal di Jepang. Kaprikornus pengarangnya sendiri pun menyerah. Sedangkan ilustratornya, Shōji Satō, menciptakan dongeng serial gres berjudul Triage X


9. Deadman Wonderland


Season pertama sendiri sudah hancur lebur, dengan ditelantarkannya para huruf kunci dari komiknya yang harusnya akan jadi sangat penting demi kemajuan plot ceritanya. Ditambah lagi, penjualannya sendiri juga sangat rendah.



8. Hyouka


Pengarang Hyouka, Honobu Yonezawa, sudah lima tahun lamanya tidak menyentuh LN garapannya sendiri tersebut. Ditambah dengan fakta bahwa tidak ada cukup materi untuk menciptakan season baru. Bisa dibilang, serial ini berhenti di tengah jalan dan tak akan ada yang tahu kapan akan berlanjut lagi meskipun kita ingin tau setengah mati dibuatnya.


7. Skip Beat!


Animenya sudah tidak mengudara selama 8 tahun terakhir ini, dan tidak ada gejala akan dibentuk season terbarunya.

6. Spice and Wolf


Spice and Wolf sendiri LN-nya berakhir di Volume 17 pada tahun 2011, hampir 4 tahun yang lalu. Dengan ketidakadaannya alasan lebih untuk mempromosikan LN-nya, tidak ada insentif yang cukup tinggi untuk menciptakan season 3 nya.


5. Hunter X Hunter


Kemungkinan besar inilah karya yang mempunyai siklus update paling tak menentu dalam sejarah komik di Jepang. Komiknya sendiri dalam status hiatus dalam beberapa tahun terakhir ini dan bahkan para penerbit buku di Jepang sendiri sudah capek dengan status tersebut dan menyatakan bahwa serialnya sudah selesai. Sekarang lantaran anime-nya sendiri sudah menyusul dongeng di komiknya, mungkin sudah saatnya kita mengucapkan selamat tinggal pada Hunter X Hunter.

Dan juga, kenyataannya (yang gres sebagian kecil fans komik Jepang yang tahu) Togashi-sensei sendiri sudah mengalah pada dunia 'nyata' dan memutuskan 'no laifu' untuk bermain Dragon Quest. 


4. Nana


Ai Yazawa sendiri mempunyai problem kesehatan yang serius dan sangat sulit untuk membuatnya terus menulis. Apalagi tidak ada cukup material untuk menciptakan season gres yang pendek sekali pun.


3. Berserk


Walaupun Berserk mempunyai 37 volume yang masih terus beredar, serialnya sendiri termasuk penuh dengan adegan kekerasan, gambar-gambar yang berat, dan penuh dengan adegan pemerkosaan. Dikarenakan adanya undang-undang tubuh sensor terbaru di Jepang, sangat sulit untuk mengharapkan season gres Berserk ke depannya.

2. To Aru Majutsu no Index


Saat ini masih tidak ada insentif yang dipandang cukup besar untuk melanjutkan serial yang termasuk terkenal dan fenomenal ini dalam bentuk anime, meskipun tersedianya banyak sumber material di LN-nya. Ini yaitu salah satu contoh serial yang sanggup dikategorikan sebagai murni untuk kepentungan promosi LN-nya.


1. Panty and Stocking with Garterbelt


Tidak ada yang sanggup dikatakan lagi mengenai serial ini, lantaran direktur animasi Hiroyuki Imaishi meninggalkan Gainax dan pergi ke Studio Trigger.


Itu ia 14 judul anime versi GoBoiano yang mempunyai kemungkinan besar untuk tidak mendapat season lanjutannya. Bagaimana berdasarkan versi kalian?

==================================
Sumber: http://goboiano.com/list/3210-14-anime-series-that-will-never-get-another-season

[Topic] 14 Serial Animasi Yang Tidak Akan Menerima Season Lanjutan

Pada Mei 2001, seorang desainer grafis Jepang berjulukan Makoto Shinkai keluar dari pekerjaannya di salah satu perusahaan video game untuk membuat film animasi berdurasi pendek berjudul Voices of a Distant Star. Meskipun hampir tidak punya pengalaman mengkombinasikan karangan naratif dan animasi, Shinkai berhasil memberikan sebuah dongeng yang unik; menggabungkan unsur sci-fi dengan drama dan 'kegalauan' masa muda. Terlebih, film pendek ini sanggup dikatakan sangat manis untuk ukuran sebuah proyek yang dikerjakan hanya oleh satu orang. Voices of a Distant Star merupakan sebuah terobosan yang sukses untuk seorang animator amatir, dan Shinkai telah membuat 3 film lebih selama sepuluh tahun terakhir ini, membuatnya dikenal sebagai salah satu kreator yang revolusioner di industri animasi Jepang.


Shinkai tergolong ke dalam generasi para animator muda, yang tidak pernah mencicipi bekerja dengan memakai format pen-and-paper, dan Voices of a Distant Star bagaikan sebuah testamen darinya perihal bagaimana teknologi komputer telah mengubah industri animasi selama satu dekade ini. Ia membuat film pendek 25 menit dalam waktu 7 bulan, memakai hanya sebuah Power Mac G4 pada ketika itu ketika prosesor PowerPC juga masih belum bisa beranjak dari batas 1GHz.

"Jika saya lahir 10 tahun lebih cepat, saya mungkin tidak akan berpikir saya bisa menjadi seorang animator," tulis Makoto Shinkai di sebuah interview memakai email perihal evolusi latar belakang landscape pada animasi 2D dan 3D. "Oh, mungkin saya akan menggambar beberapa di sana-sini, tapi saya ragu itu akan cukup untuk bertahan hidup. Ketika saya terobsesi untuk menjadi animator pada umur 20-an, dengan kebutuhan untuk mengekspresikan diri saya, kebetulan usia teknologi komputer dan alat-alat digital di Jepang telah cukup cukup umur untuk mewujudkannya."


Orang-orang yang berniat menjadi animator kini sanggup merealisasikan proyek-proyek ideal mereka dengan teknologi yang lebih murah dan lebih praktis diakses daripada sebelumnya. Apa yang dilakukan Shinkai untuk Voices of a Distant Star ialah memakai teknologi itu untuk membuat beberapa citra terindah di industri animasi. Semua karyanya mempunyai 'rasa' visual yang menakjubkan, berkat kombinasi antara pencahayaan yang hangat dan detail yang sederhana.

Namun, Shinkai menegaskan sebuah perbedaan yang terang antara teknologi dan gaya animasi digital: Walaupun prosesnya benar-benar baru, tekniknya sendiri masih menurut tradisi cel. Dan tradisi itu perlu waktu usang untuk berubah.

Sejarah Singkat Animasi 2D

Pada tahun 2009, The Princess and the Frog karya Walt Disney Pictures menunjukan kembalinya mereka kepada animasi 'traditional', sebuah proses yang mereka tinggalkan sehabis rilisnya Home on the Range pada tahun 2004. 'Traditional' ini sendiri ialah istilah yang cukup lucu di dunia animasi; sering dipakai untuk membedakan animasi 2D dengan animasi 3D (seperti Toy Story karya Pixar). Namun, 'tradisi' ini sendiri ialah lebih dari sekedar pembedaan antara 2D dan 3D. Itu ialah perihal teknik. Sejak tahun 1910-an, abjad animasi telah digambar dan diwarnai pada lembaran seluloid transparan (di masa kini, berganti menjadi selulosa asetat) yang disebut sebagai cel.

Pada ketika itu, cel ialah sebuah terobosan besar. Tanpanya, menganimasikan satu penggalan dari sebuah frame mengharuskan animator untuk menggambar ulang seluruh gambar. Dengan lapisan-lapisan cel, obyek tidak bergerak hanya perlu digambar satu kali dan sanggup dipakai lagi, sedangkan karakternya bisa digambar berulang kali untuk membuat pergerakan sebanyak 24 frame per detik.

Disney sudah tidak memakai cel selama lebih dari 20 tahun. The Little Mermaid, yang dirilis pada tahun 1989, ialah film Disney terakhir yang masih dianimasikan dengan cara dilukis susah payah di atas cel. Dimulai dengan The Rescuers Down Under pada tahun 1990, Disney berpindah ke sistem gres berjulukan CAPS. Mereka masih menggambar setiap frame animasi dengan tangan, namun, line art-nya di-scan dan diwarnai secara digital pada komputer. Cel-cel dipandang sudah kuno. Dengan demikian, The Little Mermaid dulunya dideklarasikan sebagai karya terakhir Disney memakai cara animasi 'traditional'.

Setelah bertahun-tahun lamanya mengalami pergantian teknologi, 20 tahun perkembangan komputer telah mempengaruhi proses animasi secara signifikan. Animasi sanggup digambar dan diwarnai secara digital, namun pada hari ini pun beberapa karya menyerupai The Simpsons digambar pada kertas dan di-scan untuk pewarnaan dan penintaan digital. Faktanya kita ketika ini hidup di dunia animasi digital, meskipun beberapa kreator sangat lambat beradaptasi.

Namun, seberapa perlukah teknologi tersebut diadopsi?

Generasi Baru Animasi Digital

"Animasi digital, setidaknya pada kasus industri animasi Jepang (termasuk juga film-film saya), ialah penerus eksklusif dari animasi yang digambar manual," tulis Shinkai. Itu artinya bahwa rumah-rumah produksi menyerupai Studio Ghibli telah sepenuhnya beralih ke teknologi komputer sehabis berdekade lamanya memakai animasi manual--mereka masih bergantung, setidaknya secara nurani, pada era penggunaan cel.


"Saya bahkan berani bilang bahwa (teknologi) itu ditahan perkembangannya oleh sebuah pementingan akan penciptaan kembali teknik animasi manual," lanjutnya. "Itu salah satu alasan mengapa, walaupun kita berada di era digital, cara-cara gres untuk menyajikan animasi-animasi mengalami hambatan untuk membuat akar kuatnya. Saya pikir ada tempat-tempat di luar dunia animasi komersial Jepang dimana anda bisa menemukan animasi digital dipakai sebagai teknik yang benar-benar baru. Saya pikir mereka, para kreator 3DCG amatir dan animator flash, lebih sanggup menguasai animasi digital dengan bebas daripada mereka yang berkutat di dalam industri animasi Jepang itu sendiri."

Setelah membuat Voices of a Distant Star sendirian (dan proses rekaman untuk mengisi bunyi dua protagonis dongeng itu bersama tunangannya), Shinkai dengan cepat menjadi satu penggalan dari industri anime Jepang. Ia menulis dan mensutradarai sebuah film berdurasi 90 menit, berjudul The Place Promised in Our Early Days (2004) dengan susunan staf yang berjumlah lebih dari 30 artist dan animator. Proyeknya yang selanjutnya, 5 Centimeters Per Second (2007) berdurasi 1 jam, memperkerjakan susunan staff berjumlah itu juga.


Ketiga film tersebut mempunyai tema yang mirip: ber-setting latar belakang ala sci-fi namun berfokus pada relasi di antara para tokoh yang berjuang untuk saling terhubung satu sama lain. Perjuangan itu tercermin pada desain karakternya--protagonis mudanya sering mempunyai fitur wajah minimalis yang merefleksikan lisan diri mereka yang tertahan. Pasangan remaja yang saling jatuh cinta dan sci-fi ialah kuncinya.

"Saya pikir sci-fi sanggup menarik keluar esensi dari relasi antar manusia, dengan membuat setting dan situasi yang ekstrim," tulis Shinkai. "Kemampuan sci-fi untuk membuat hal tersebut melalui banyak sekali eksperiman.... ialah satu hal yang saya suka tentangnya."


Ketiga film animasinya ber-ciri khas-kan awan-awan berwarna air, langit yang terwarnai dengan jelas, dan pencahayaan yang dramatis. Ciri khas yang terakhir ialah berkat teknologi digital: Shinkai memakai lensa flare semacam 'J.J. Abrams'.

"Di era analog, cel dan latar belakangnya terpisah secara fisik dan mengakibatkan banyak sekali batasan pada pencahayaan karenanya," tulisnya. "Sekarang sehabis semuanya menjadi bentuk digital, kita sanggup mencoba pencahayaan dan denah pewarnaan yang lebih rumit. Misalnya, saya berpikir perihal bagaimana caranya menyatukan lingkungan dan pantulan cahaya pada satu tokoh, bagaimana caranya mencocokkan pencahayaan ke warna latar belakangnya, dan kemudian membuat citra tersebut sebagai satu kesatuan. Jika seorang tokoh ada di sebuah hutan hijau di bawah langit biru, saya akan menyesuakan warna bayangan sang tokoh itu supaya menjadi kecenderungan hijau atau biru. Lensa flare juga sama. Daripada hanya meletakkan perapian yang keren di atas sebuah gambar, saya tetap mengingat perapian menyerupai apa yang pantas untuk diciptakan dan bagaimana cara saya menggambarnya."

Walaupun beberapa animator sedang berjuang untuk beralih ke teknologi digital, Shinkai tidak menganggap bahwa perubahan itu cukup cepat terjadinya. Dia intinya selalu memakai alat yang sama--Adobe Photoshop dan After Effects dengan sebuah tablet Wacom--sejak film Voices of a Distant Star pada tahun 2001.

"RGB 24-bit color depth (16 juta warna), anti-aliasing, layers, undo, dan sensor tekanan pada tablet ialah elemen-elemen penting dan fundamental di balik dampak besar yang ditimbulkan alat-alat digital semenjak satu dekade yang lalu," tulisnya. "Namun, walaupun satu dekade telah berselang, hal tersebut tidak terlalu berubah banyak. Banyak CPU menjadi lebih cepat, resolusi lebih besar, RAM lebih besar, dan ruang penyimpanan yang juga makin besar. Namun inti dari seni menggambar digital tidak berubah selama satu dekade ini. Karena itulah, saya merasa bahwa penciptaan karya seni digital sedang berada dalam kondisi stagnan. Saya berharap bahwa penemuan akan memajukan dunia alat-alat grafis di masa depan, menyerupai yang sudah terjadi pada fitur multi-touch pada smart phone."

Melaju Dengan CGI di Era Digital

Sebagaimana anime mulai beralih ke proses penintaan dan pewarnaan digital pada final tahun 90-an dan awal 2000-an, studio-studio animasi juga beralih ke teknologi digital lainnya untuk membantu memangkas biaya produksi: 3D. Cowboy Bebop, rilis tahun 1997, memakai model-model 3D menggantikan gambar-gambar manual untuk merotasi stasiun luar angkasa. Pada tahun 2002, Ghost in the Shell: Stand Alone Complex memakai 3D renders untuk robot-robot dan mobil-mobilnya. Disney memakai 3D di film-filmnya semenjak The Black Cauldron dan The Great Mouse Detective pada pertengahan 1980-an.

Gambar-gambar yang dihasilkan dengan komputer lebih ekonomis biaya, namun masih terdapat kekurangan di sana-sini pada masa awal-awal penggabungan 2D/3D dan duduk kasus detail gambar 2D yang melingkupinya. Film anime tahun 2004 berjudul Appleseed memakai cel shading untuk membuat model-model tokoh 3D-nya terlihat dianimasikan secara tradisional. Jika ada sesuatu yang akan membuat kalian mengapresiasi animasi 2D, maka itu ialah perjuangan Appleseed dalam menirunya.

Shinkai memakai CGI juga, namun kalian mungkin tidak pernah menyadarinya.

"Animasi dicipatakan dari dua elemen: abjad dan latar belakang," mulainya. "Karena rasa intrinsik dari 3DCG berbeda dari kedua elemen tersebut, kalau dipakai sebagaimana adanya, maka justru akan mengakibatkan elemen ketiga yang tidak perlu. Dengan kata lain, itu justru menghalangi sebuah animasi untuk dirasakan sebagai satu kesatuan utuh. Untuk mencegahnya, ketika memakai 3DCG, saya mencoba sebisa mungkin untuk membuatnya serupa dengan entah penggalan mana dari sebuah cel atau pun latar belakang."


"Saya tidak benar-benar tertarik pada 3DCG sebagai seorang individu... Namun harus diakui bahwa kelemahan dari animasi manual ialah biayanya. Karena duduk kasus budget dan penjadwalan, akan selalu ada kebutuhan berkelanjutan untuk beralih ke 3DCG. Dan sepanjang duduk kasus itu akan terus ada,  maka akan ada kebutuhan untuk sebuah teknologi berkembang terus menjadi lebih baik."

Penggunaan CGI yang hati-hati sanggup bercampur hampir tanpa bekas dengan dunia 2D. Namun masih ada sesuatu yang kurang perihal itu. Pergerakannya lah yang paling kentara, terlihat tidak alami, dan bahkan terlalu halus dan tepat dibandingkan animasi yang melingkupinya.


Shinkai menulis: "Ketika memakai model CG untuk sekumpulan burung layang-layang, saya memakai cel shading untuk membuat modelnya terlihat menyerupai penggalan dari cel tersebut (dengan memberinya garis tepi hitam dan warna yang datar). Untuk kincir angin yang berputar, saya memakai texture mapping dengan gambar latar belakang untuk membuat objek 3D terlihat serupa dengan latar belakangnya."

Fenomena CGI tak sanggup dihindari lagi pada animasi 2D modern kini ini. Industri animasi harus tetap mempertahankan biaya produksi yang rendah dan tidak ada satu pun yang bisa mendedikasikan 30 tahunnya untuk menuntaskan animasi 3D secara manual dan mendetail. Untungnya, hal itu sudah teratasi semenjak film The Rescuers Down Under, menyerupai yang sudah dibuktikan oleh Shinkai.

Pengaruh Ajaran Analog yang Masih Bertahan

Children Who Chase Lost Voices From Deep Below, yang dirilis tahun 2011, berbeda dengan karya-karya Makoto Shinkai yang sebelumnya. Ia menukar konsep sci-fi dan hutan urban Tokyo dengan lingkungan pedesaan yang makmur dan dunia fantasi yang imajinatif khas film garapan Studio Ghibli. Ini ialah film terlama dan paling detailnya. Yang patut dicatat, dampak Miyazaki di dalamnya menguatkan asumsi bahwa seni gambar digital paling modern sekalipun mempunyai relasi dengan tradisi seni gambar tradisional.


"Sebagai seorang amatir, saya mungkin telah menjadi penggalan dari generasi pionir animasi digital. Namun, dalam hal estetika, saya mungkin ialah director golongan generasi animasi analog," tulis Shinkai. "Saya berkata demikian alasannya film-film animasi Jepang komersial pada tahun 1980-an dan 90-an masih terpatri di benak saya, ketika saya memikirkan visualisasi yang paling ideal untuk film saya."



Satu lagi kemajuan di alat-alat digital--atau pun sebuah terobosan dari seorang animator muda yang, mungkin menyerupai Shinkai, tidak pernah mempelajari pembuatan animasi memakai cel--dapat menjadi kunci penemuan dan keberlangsungan animasi 2D. Animator-animator muda yang gres memulai langkah mereka kini ini bahkan mungkin lebih jauh lagi terpisah dari teknik kodifikasi gaya visual animasi 2D di kala ke-20.

Pada usianya yang ke-39, Shinkai masih mempunyai jalan karir panjang di depannya. Walaupun film Children Who Chase Lost Voices From Deep Below dilandaskan pada animasi cel film-film Studio Ghibli menyerupai Castle in the Sky, film tersebut juga menunjukkan gaya seni gambar yang berkembang jauh dan dengan teknik yang lebih rumit. Ketika kelak terobosan dalam dunia digital yang Shinkai harapkan tiba, beliau mungkin ialah orang pertama yang akan menggetarkan dunia animasi Jepang lagi.

Sekarang ini, para animator di Amerika Serikat sendiri sedang berjuang untuk menjual animasi 2D kepada para penonton yang sudah terlena oleh animasi 3D buatan Pixar dan Dreamworks. Sementara itu, industri Jepang sedang berusaha menyusul ketertinggalannya dalam hal teknologi modern. Di samping fakta bahwa teknologi digital membuka banyak opsi dalam hal editing dan pencahayaan yang tidak bisa ditemukan dengan teknologi cel, Shinkai menyatakan bahwa teknologi tersebut mempunyai beberapa kelemahan.

"Saya merasa bahwa akar landasan produksi animasi Jepang telah menjadi semakin dan semakin berbahaya semenjak kedatangan era digital. Alat-alat produksi dasar yang kita gunakan intinya ialah software komersial buatan luar negeri (Adobe After Effects, etc.). Kalau boleh bicara dengan sedikit ekstrim, area pengembangan teknologi animasi Jepang akan sangat dikontrol oleh keputusan Adobe dalam hal apa yang akan mereka masukkan di setiap versi gres software mereka. Komputer yang ada ketika ini tidak bisa membuka file-file After Effect yang disimpan semenjak 10 tahun lalu. Sebuah SCSI drive semenjak 10 tahun yang kemudian tidak bisa disambungkan dengan komputer modern dan sebuah CD-R yang di-burn semenjak 10 tahun yang kemudian juga sudah hampir mencapai ujung asumsi usianya."


"Apa yang kita, sebagai pembuat film, harus tekankan ialah bahwa hal-hal dimana kita mempunyai kontrol terhadap cerita, gambar orisinil, dan konsep artistik. Ketiganya ialah elemen-elemen yang tidak praktis dibedakan dan dipisahkan oleh teknologi analog maupun digital hingga kapan pun."

==================================
Sumber: http://www.tested.com/art/movies/442545-2d-animation-digital-era-interview-japanese-director-makoto-shinkai/

[Topic] Animasi 2D Di Masa Digital: Interview Dengan Makoto Shinkai

Animasi:

Sebagai pengingat, anime Jepang yaitu salah satu dari sangat sedikit daerah di muka bumi ini dimana kalian masih menemukan konsep ‘animasi tradisional’!

Selama ini masih ada banyak kebingungan di antara para fans anime wacana bagaimana memproduksi anime secara digital, jadi inilah yang harus kalian camkan: anime yang dibentuk secara komersial dan mainstream pada dasarnya masih mengandalkan kreativitas tangan, dan oleh karenanya anime Jepang masih tetap menjadi media penyaluran karya seni yang luar biasa!

Animasi trdisional mengizinkan setiap ciri khas kreatornya untuk tersampaikan. Tentu saja, komputer sangat berkhasiat dan signifikan perannya, namun hal yang paling penting yaitu bahwa frame-frame yang ada masih digambar dengan tangan, dan tidak ada animasi in-between yang disimulasikan dulu dengan komputer.

Sudah ada para animator yang menggambar animasi 2D secara pribadi ke dalam komputer, namun di dunia anime Jepang hal itu hanya terbatas pada jenis produksi animasi solo, alih-alih anime untuk komersil. Industri di Jepang lebih suka metode manual, alasannya yaitu para animator sendiri merasa nyaman dan terbiasa dengan metode manual. Selain itu, metode ini juga membuat mereka lebih praktis mengusut dan mengkoreksi frame-frame sembari dikejar-kejar oleh aktivitas yang ketat.

Jadi, ibarat inilah animasi anime Jepang dilakukan:

Key Animation:


Berdasarkan storyboard yang ada, para key animators akan mulai bekerja membuat ilustrasi-ilustrasi untuk animasi. Mereka akan diberikan sejumlah cut yang berbeda-beda oleh orang yang ditunjuk bertanggung jawab untuk menangani key animation. [Ingat pekerjaan yang dilakukan Miyamura Aoi di Shirobako??]

Para key animator menggambar frame-frame yang penting, yang menandai posisi atau verbal tertentu untuk sebuah karakter. Misalnya, adegan dimana si protagonis mulai menendang seseorang akan digambar sebagai frame pertama, kemudian dikala adegan dimana tendangan mulai mendarat di muka musuhnya akan digambar sebagai frame kedua (jika itu yaitu sebuah tendangan yang cepat!)

Dengan kata lain, mereka menggambar struktur dasar animasi. Jumlah frame yang digambar seorang key animator untuk sebuah gerakan akan sangat bergantung pada niatnya sendiri dan sifat dari cut itu sendiri, dengan banyak sekali pertimbangan ibarat waktu dan budget yang terbatas. Penggambaran ini juga termasuk garis-garis yang akan mengarahkan kemana arsiran akan harus dilakukan. Sekitar 20 orang key animator dapat bekerja untuk satu episode anime, masing-masing harus bertanggung jawab di penggalan yang terpisah-pisah.

Walaupun sebelumnya telah ditentukan bagaimana pergerakannya nanti, tetap para key animator lah yang akan mengekspresikannya dalam bentik animasi. Oleh alasannya yaitu itulah, seorang key animator yang berbakat dan pekerja keras sanggup menjadi andalan dan diinginkan untuk direkrut, mereka yang bekerja melebihi standar dan sanggup menghias adegan-adegan dengan gaya mereka. Beberapa animator juga berkesempatan untuk 'melenceng' dari storyboard yang ada, asalkan itu sanggup menambah imbas positif untuk animasinya (Misalnya saja, Yoshinori Kanada).

Bagaimana dengan permasalahan konsistensi? Meskipun pementingan pada persoalan ini yaitu sangat tergantung dari satu perusahaan ke perusahaan lain, pada umumnya yaitu keharusan untuk memastikan karaktermu terlihat sama dari satu porsi key animator satu ke key animator selanjutnya. Animation director yang akan menanganinya.

Animation Director:

Ini yaitu salah satu jabatan staf yang kebanyakan fans anime mungkin tidak banyak mengetahui, alasannya yaitu jabatan ini sangat spesifik dan self-explanatory. Peran kunci dari animation director bukanlah untuk ‘mensupervisi proses animasi’ di setiap langkahnya (walaupun semuanya tetap tergantung pada orangnya, studionya, dan jadwalnya). Jabatan ini pada dasarnya yaitu untuk mengatasi persoalan 'konsistensi para key animator'. Mereka mengusut semua frame kunci yang dibentuk untuk sebuah episode dan mengoreksi mana-mana saja yang dirasa perlu, supaya hasil gambarnya menjadi semakin serupa dengan model orisinil untuk serialnya sedetail mungkin. Dalam beberapa kasus, mereka mungkin harus menggambar ulang seluruh frame, atau menyesuaikan timing dan pergerakannya (kebanyakan terjadi pada karya OVA dan movie). Mereka ini yaitu salah satu dari empat jabatan inti untuk sebuah episode, di samping staf screenplay, episode director, dan storyboard. Frame kunci sanggup saja diperiksa juga oleh episode director.

Para animation director biasanya yaitu para animator senior dan dibayar lebih tinggi untuk kiprahnya ini. Namun, tanggung jawab mereka yang besar jikalau ada sesuatu yang jelek pada animasinya, membuat pekerjaan ini sanggup menjadi pekerjaan yang sangat menekan, apalagi kalau jadwalnya benar-benar ketat. Seringkali, sebuah episode anime akan mempunyai lebih dari satu animation director, dan ini sanggup mengakibatkan persoalan di penjadwalan kerja, alasannya yaitu makin banyaknya orang yang dibutuhkan untuk menuntaskan satu episode itu dengan memuaskan dan tepat waktu, atau bahkan itu yaitu tanda bahwa banyaknya gambar-gambar berkualitas rendah yang perlu koreksi.

Alasan yang lain dari lebih dari satu animation director yaitu alasannya yaitu mereka terbiasa dengan spesialisasinya (misalnya, memegang soal transformasi mecha atau menggambar binatang), atau sebagai indikasi bahwa episode tersebut termasuk episode yang sulit dan sangat membutuhkan banyak gambar.

Disamping jabatan episode animation director, anime kini ini juga mempunyai seorang overall animation director (pada umumnya merangkap juga sebagai desainer karakter), yang sering bekerja gotong royong dengan para episode animation director untuk menjaga konsistensi citra model huruf di sepanjang serial anime. Mereka pada umumnya fokus pada wajah para karakter. Beberapa serial anime tidak terlalu menganggap penting penggalan ini, atau bahkan pada serial anime Noein, studio produksinya tidak ada jabatan animation director sama sekali.

Animasi In-between:

Setelah menyetujui setumpuk frame kunci, untuk menuntaskan sebuah animasi supaya sanggup bergerak lebih luwes, sebuah studio harus memproduksi lebih banyak gambar untuk ditempatkan di antara frame-frame kunci. Inilah yang disebut sebagai proses animasi in-between. Animasi in-between biasanya diserahkan kepada para animator yang kurang berpengalaman dan sering kali memakai jasa outsource (yang sebagian besar dikala ini yaitu para animator dari Korea).

In-between animator dibayar lebih rendah daripada para key animator, dan biasanya hanya merupakan sebuah posisi sementara dari karir seorang animator. Anggap saja ini semacam kerja buruh, alasannya yaitu para in-between animator tidak punya kesempatan untuk menghipnotis pekerjaan mereka dengan sentuhan khas mereka. Mereka mendapat perintah-perintah yang terperinci dari key animator wacana apa yang harus mereka lakukan (terutama jikalau mereka yaitu hasil outsourcing) , dan hanya mengisi kekosongan yang ada dengan gambar mereka. Mereka juga mempunyai kiprah untuk men-tracing frame-frame kunci serapi mungkin.

Seringkali para key animator, terutama yang sudah populer atau demi kesempurnaan sebuah adegan penting, akan menggambar banyak gambaran sendirian untuk meminimalisir jumlah frame in-between yang berpotensi akan mempunyai kualitas rendah. Salah satu contohnya yaitu Yoshimichi Kameda, dimana beliau menggambar semua frame in-between dari anime Full Metal Alchemist: Brotherhood, tepatnya pada adegan dimana Mustang memperabukan Lust. Kira-kira bisakah membayangkan bagaimana jadinya bila adegan se-emosional itu diserahkan kepada para outsourcing itu?

Frame-frame in-between tersebut juga akan diperiksa dan dikoreksi bila dirasa perlu. Dengan menggabungkan gambar-gambar dari para key animator dan in-between animator, kita mendapat sebuah 'animasi' yang siap untuk dimasukkan dalam sebuah anime!


Pada umumnya, apalagi untuk yang berformat serial TV, sebuah anime akan dianimasikan dalam [2:s], yang artinya yaitu 1 gambar akan berlangsung untuk 2 frame (gampangnya, 1 detik memerlukan 12 frame). Namun, seringkali anime dibentuk pada [1:s] (24 frame per detik) atau juga [3:s]. Jika setiap detik dari sebuah anime dianimasikan pada tingkat [2:s] maka akan dibutuhkan sekitar 15.000 gambar untuk satu episode saja! Pada kenyataannya, alasannya yaitu kebanyakan adegan tidak harus begitu halus dan luwes gerakannya, anime pada umumnya akan membutuhkan 3000 frame/gambar. Namun demikian, itu saja masih merupakan kerja yang besar!

Akhir-akhir ini, sering para director atau produser akan membanggakan anime mereka dengan,  “Aku punya 10.000 gambar untuk satu episode!” atau semacamnya, yang memang sangat impresif namun itu juga tidak membuat sebuah episode menjadi lebih baik. Misalnya, episode pertama anime Evangelion hanya memakai 700 frame animasi, sedangkan Angel Beats! menggunakan sekitar 11.000 frame di episode pertama! Seorang director yang mumpuni sanggup membuat sebuah karya elok dengan frame yang lebih sedikit, yaitu dengan memakai komposisi dan cut-cut adegan yang menarik. Seringkali, banyak director atau studio animasi akan mengelola budget-nya dengan membatasi jumlah gambar yang sanggup dimasukkan dalam satu episode.

Faktor inti lainnya yaitu sebuah trade-off atau pilihan prioritas antara (1) unsur detail, (2) konsistensi desain, atau (3) animasi yang lebih luwes dan halus. Seperti yang mungkin beberapa dari kita ketahui bahwa animasi yang lebih cepat dan halus memerlukan penambahan jumlah gambar yang diharapkan secara drastis, sedangkan mempertahankan konsistensi dan detail dari para huruf animasi sanggup menaikkan biaya produksi dan menghabiskan banyak waktu. Animasi yang halus dan luwes akan praktis dilakukan jikalau desain awalnya sendiri terbilang simple ATAU jikalau standar konsistensi yang diharapkan tidak terlalu ditekankan/dibutuhkan. Dengan budget yang cukup ketat, media anime telah semenjak usang menjadi area pergumulan untuk menyeimbangkan ketiga faktor di atas, dengan mengakalinya atau berkompromi.

Kenyataan-kenyataan ibarat inilah yang menjadi sumber kritikan dari para fans animasi Barat kepada anime Jepang. Namun, yang paling penting adalah, dengan para animator yang cukup terampil dan rajin serta mendapat proyek yang tepat, kita pun masih sanggup makan yummy untuk ke depannya! Tak pelak lagi, anime memang telah menghasilkan sebuah proses animasi yang paling 'njelimet' DAN paling halus di dunia ini!

Komposisi / “filming”:

Sudah menjadi belakang layar umum bahwa frame-frame animasi nantinya akan diselesaikan dengan memakai komputer. Setelah frame-frame tersebut selesai digambar dan diperiksa, mereka akan melalui proses digitisasi. Saat mereka ada di komputer, mereka akan diwarnai dengan palette warna khusus oleh para staf pewarnaan (termasuk sebagai pekerjaan bergaji rendah). Mereka memakai garis shading yang digambar oleh para key animator untuk mengerjakan pewarnaan shading. Proses digital ini setara dengan langkah ‘ink & paint’ dari proses inti produksi, yang dulunya diselesaikan secara manual.

Di zaman komputer ini, studio animasi sangat terbantu alasannya yaitu mereka sanggup mencoba-coba lebih banyak lagi gaya visual yang dianggap menarik dengan santunan teknik colouring komputer, ibarat penggunaan gradient shading maupun textures. Hal-hal semacam itu sangat sulit dilakukan pada zaman dulu. Teknologi komputer juga cukup menghemat waktu dan tenaga dalam prosesnya. Inilah yang akan menjadi 'cel-cel' terakhir yang masuk ke dalam sebuah animasi.

Setelah semua frame diwarnai dan selesai, kesemuanya itu sanggup diproses menjadi sebuah animasi dengan memakai suatu paket software yang terspesialisasi bernama, “RETAS! PRO” yang dipakai oleh sekitar 90% anime yang dikala ini tayang di Jepang! Sebelum lumrah masanya memakai digicel, proses penggambaran (di-print ke dalam cel-cel) sebetulnya di'film'kan di atas latar-latar belakang. Saat ini, cut-cut yang ada sudah benar-benar terdigitalisasi, dan gambar latar belakang sanggup ditambahkan dengan santunan komputer.

Pada awalnya, ketika digicel diadopsi pertama kalinya oleh beberapa studio (sekitar tahun 2000), teknologi tersebut mempunyai persoalan untuk sanggup mencocokkan kualitas detail antara hasil gambar manual dengan cel-cel yang diwarnai. Namun, dikala ini studio-studio anime sudah mempunyai digicel yang sempurna, dan menyajikan pada kita anime-anime yang sanggup mendetail dan dengan pewarnaan yang lebih hidup. Zaman digicel sekarang telah menjadi hal umum di semua proses produksi, sehingga membuat cel-cel yang berulang dan rekap episode sebelumnya (menggunakan cut yang sudah tayang) seharusnya yaitu hal yang sudah kuno. Beberapa penikmat anime generasi usang mungkin masih lebih menyukai gaya anime sebelum tahun 2000-an, namun bagaimana dengan kalian?

Meskipun tidak memakai film yang sebenarnya, proses komposisi dalam menambahkan gambar latar belakang dan menangkap animasi secara digital masih disebut sebagai proses “filming”. Karakter dan mesin/robot CG juga secara umum ditambahkan ke dalam komposisi tersebut selama proses filming. Penggunaan 3DCG dikala ini juga menjadi pemandangan biasa di anime-anime zaman sekarang, dan sanggup ditemukan pada anime yang berafiliasi dengan robot, mobil, atau bahkan huruf figuran (yang cuma sekedar nampang dan tidak punya nama). Peran CG ini pun juga semakin meluas dan menjadi semakin tidak membosankan. Selama proses komposisi, efek-efek juga sanggup ditambahkan ke dalam cut-cut yang ada.

Efek mungkin terdengar ibarat hal yang tidak penting ketika kita bicara wacana anime, namun hal ini sanggup menjadi komponen yang vital untuk gaya penceritaan sebuah serial alasannya yaitu ini menyangkut koordinasi hal-hal fundamental ibarat pencahayaan, nyala api, lampu latar, kilau sisi sebuah pedang, blur, dan banyak hal lain yang dibutuhkan untuk menambah kedalaman dan mempertebal atmosfir gambar 2D yang menjadi intinya.

Lalu, ada juga hal-hal keren yang biasanya kalian mulai bayangkan ketika istilah SFX disebutkan, ibarat serangan sihir, ledakan, dan semacamnya. Semuanya itu pada dasarnya yaitu gambar tangan, namun kemudian dimanipulasi dengan imbas CG untuk memunculkan sinarnya. Efek-efek ini dapay ditambahkan dengan praktis ke dalam komposisi memakai penyaringan digital. Kemudahan langkah ini kini telah menghasilkan perbedaan yang sangat mencolok antara anime satu dekade yang kemudian dan anime dikala ini.

Singkatnya, datangnya zaman digital di dunia anime, di banyak kasus, telah menekankan beberapa hal: (1) proses komposisi cel-cel secara manual telah tergantikan oleh komposisi berbasis komputer menurut frame/gambar manual, (2) pewarnaan kini tidak harus dilakukan dengan tangan, (3) dan adanya integrasi yang lebih efektif antara CG dan imbas digital. Kesemuanya ini telah menghemat waktu dan uang, supaya TV-anime di masa ini tinggal berkonsentrasi untuk menghasilkan banyak gambar dan tidak perlu mendaur ulang cel-cel atau menempatkan sesi rekap episode sebelumnya.

Setelah komposisi untuk semua cut selesai dilakukan, mereka harus tepat waktu sesuai dengan slot waktu tayang yang berlaku, supaya tidak ada episode yang kelebihan porsi tayang. Dengan penyelesaian proses editing, sebuah episode hasilnya berpindah dari langkah [Produksi] ke [Paska-produksi]. Pada dasarnya menyangkut hal-hal ibarat dubbing, baik musik maupun rekaman bunyi aktor/aktris (seiyuu), dan editing selesai (memotong episode dengan memasukkan iklan di tengah-tengah waktu tayang). Visual effect juga sanggup ditambahkan di langkah terakhir ini.

Berikut ini yaitu beberapa istilah yang sering dipakai di dalam studio-studio animasi Jepang:
- Animation Director: Sakkan / Sakuga Kantoku [作画監督]

- Animation Drawer: Sakuga (作画)
- Key Animator: Genga (原画)
- In-between Animator: Douga (動画)
- Overall Animation Director: Sou-Sakuga Kantoku (総作画監督)

================================================
Sumber:
--> PRODUCTION I.G – Tokyo, Anime production process – feature film link
--> Steps in Anime Production link
--> Animesuki! link
--> AIC – :: Introduction of anime production :: link
--> Sunrise – The Making of Animation: link

[Topic] Proses Produksi Anime: Panduan Detail Perihal Bagaimana Anime Dibentuk Dan Orang-Orang Di Baliknya (Bagian 2-Habis)