Halaman

    Social Items

Visit Namina Blog
Pada Mei 2001, seorang desainer grafis Jepang berjulukan Makoto Shinkai keluar dari pekerjaannya di salah satu perusahaan video game untuk membuat film animasi berdurasi pendek berjudul Voices of a Distant Star. Meskipun hampir tidak punya pengalaman mengkombinasikan karangan naratif dan animasi, Shinkai berhasil memberikan sebuah dongeng yang unik; menggabungkan unsur sci-fi dengan drama dan 'kegalauan' masa muda. Terlebih, film pendek ini sanggup dikatakan sangat manis untuk ukuran sebuah proyek yang dikerjakan hanya oleh satu orang. Voices of a Distant Star merupakan sebuah terobosan yang sukses untuk seorang animator amatir, dan Shinkai telah membuat 3 film lebih selama sepuluh tahun terakhir ini, membuatnya dikenal sebagai salah satu kreator yang revolusioner di industri animasi Jepang.


Shinkai tergolong ke dalam generasi para animator muda, yang tidak pernah mencicipi bekerja dengan memakai format pen-and-paper, dan Voices of a Distant Star bagaikan sebuah testamen darinya perihal bagaimana teknologi komputer telah mengubah industri animasi selama satu dekade ini. Ia membuat film pendek 25 menit dalam waktu 7 bulan, memakai hanya sebuah Power Mac G4 pada ketika itu ketika prosesor PowerPC juga masih belum bisa beranjak dari batas 1GHz.

"Jika saya lahir 10 tahun lebih cepat, saya mungkin tidak akan berpikir saya bisa menjadi seorang animator," tulis Makoto Shinkai di sebuah interview memakai email perihal evolusi latar belakang landscape pada animasi 2D dan 3D. "Oh, mungkin saya akan menggambar beberapa di sana-sini, tapi saya ragu itu akan cukup untuk bertahan hidup. Ketika saya terobsesi untuk menjadi animator pada umur 20-an, dengan kebutuhan untuk mengekspresikan diri saya, kebetulan usia teknologi komputer dan alat-alat digital di Jepang telah cukup cukup umur untuk mewujudkannya."


Orang-orang yang berniat menjadi animator kini sanggup merealisasikan proyek-proyek ideal mereka dengan teknologi yang lebih murah dan lebih praktis diakses daripada sebelumnya. Apa yang dilakukan Shinkai untuk Voices of a Distant Star ialah memakai teknologi itu untuk membuat beberapa citra terindah di industri animasi. Semua karyanya mempunyai 'rasa' visual yang menakjubkan, berkat kombinasi antara pencahayaan yang hangat dan detail yang sederhana.

Namun, Shinkai menegaskan sebuah perbedaan yang terang antara teknologi dan gaya animasi digital: Walaupun prosesnya benar-benar baru, tekniknya sendiri masih menurut tradisi cel. Dan tradisi itu perlu waktu usang untuk berubah.

Sejarah Singkat Animasi 2D

Pada tahun 2009, The Princess and the Frog karya Walt Disney Pictures menunjukan kembalinya mereka kepada animasi 'traditional', sebuah proses yang mereka tinggalkan sehabis rilisnya Home on the Range pada tahun 2004. 'Traditional' ini sendiri ialah istilah yang cukup lucu di dunia animasi; sering dipakai untuk membedakan animasi 2D dengan animasi 3D (seperti Toy Story karya Pixar). Namun, 'tradisi' ini sendiri ialah lebih dari sekedar pembedaan antara 2D dan 3D. Itu ialah perihal teknik. Sejak tahun 1910-an, abjad animasi telah digambar dan diwarnai pada lembaran seluloid transparan (di masa kini, berganti menjadi selulosa asetat) yang disebut sebagai cel.

Pada ketika itu, cel ialah sebuah terobosan besar. Tanpanya, menganimasikan satu penggalan dari sebuah frame mengharuskan animator untuk menggambar ulang seluruh gambar. Dengan lapisan-lapisan cel, obyek tidak bergerak hanya perlu digambar satu kali dan sanggup dipakai lagi, sedangkan karakternya bisa digambar berulang kali untuk membuat pergerakan sebanyak 24 frame per detik.

Disney sudah tidak memakai cel selama lebih dari 20 tahun. The Little Mermaid, yang dirilis pada tahun 1989, ialah film Disney terakhir yang masih dianimasikan dengan cara dilukis susah payah di atas cel. Dimulai dengan The Rescuers Down Under pada tahun 1990, Disney berpindah ke sistem gres berjulukan CAPS. Mereka masih menggambar setiap frame animasi dengan tangan, namun, line art-nya di-scan dan diwarnai secara digital pada komputer. Cel-cel dipandang sudah kuno. Dengan demikian, The Little Mermaid dulunya dideklarasikan sebagai karya terakhir Disney memakai cara animasi 'traditional'.

Setelah bertahun-tahun lamanya mengalami pergantian teknologi, 20 tahun perkembangan komputer telah mempengaruhi proses animasi secara signifikan. Animasi sanggup digambar dan diwarnai secara digital, namun pada hari ini pun beberapa karya menyerupai The Simpsons digambar pada kertas dan di-scan untuk pewarnaan dan penintaan digital. Faktanya kita ketika ini hidup di dunia animasi digital, meskipun beberapa kreator sangat lambat beradaptasi.

Namun, seberapa perlukah teknologi tersebut diadopsi?

Generasi Baru Animasi Digital

"Animasi digital, setidaknya pada kasus industri animasi Jepang (termasuk juga film-film saya), ialah penerus eksklusif dari animasi yang digambar manual," tulis Shinkai. Itu artinya bahwa rumah-rumah produksi menyerupai Studio Ghibli telah sepenuhnya beralih ke teknologi komputer sehabis berdekade lamanya memakai animasi manual--mereka masih bergantung, setidaknya secara nurani, pada era penggunaan cel.


"Saya bahkan berani bilang bahwa (teknologi) itu ditahan perkembangannya oleh sebuah pementingan akan penciptaan kembali teknik animasi manual," lanjutnya. "Itu salah satu alasan mengapa, walaupun kita berada di era digital, cara-cara gres untuk menyajikan animasi-animasi mengalami hambatan untuk membuat akar kuatnya. Saya pikir ada tempat-tempat di luar dunia animasi komersial Jepang dimana anda bisa menemukan animasi digital dipakai sebagai teknik yang benar-benar baru. Saya pikir mereka, para kreator 3DCG amatir dan animator flash, lebih sanggup menguasai animasi digital dengan bebas daripada mereka yang berkutat di dalam industri animasi Jepang itu sendiri."

Setelah membuat Voices of a Distant Star sendirian (dan proses rekaman untuk mengisi bunyi dua protagonis dongeng itu bersama tunangannya), Shinkai dengan cepat menjadi satu penggalan dari industri anime Jepang. Ia menulis dan mensutradarai sebuah film berdurasi 90 menit, berjudul The Place Promised in Our Early Days (2004) dengan susunan staf yang berjumlah lebih dari 30 artist dan animator. Proyeknya yang selanjutnya, 5 Centimeters Per Second (2007) berdurasi 1 jam, memperkerjakan susunan staff berjumlah itu juga.


Ketiga film tersebut mempunyai tema yang mirip: ber-setting latar belakang ala sci-fi namun berfokus pada relasi di antara para tokoh yang berjuang untuk saling terhubung satu sama lain. Perjuangan itu tercermin pada desain karakternya--protagonis mudanya sering mempunyai fitur wajah minimalis yang merefleksikan lisan diri mereka yang tertahan. Pasangan remaja yang saling jatuh cinta dan sci-fi ialah kuncinya.

"Saya pikir sci-fi sanggup menarik keluar esensi dari relasi antar manusia, dengan membuat setting dan situasi yang ekstrim," tulis Shinkai. "Kemampuan sci-fi untuk membuat hal tersebut melalui banyak sekali eksperiman.... ialah satu hal yang saya suka tentangnya."


Ketiga film animasinya ber-ciri khas-kan awan-awan berwarna air, langit yang terwarnai dengan jelas, dan pencahayaan yang dramatis. Ciri khas yang terakhir ialah berkat teknologi digital: Shinkai memakai lensa flare semacam 'J.J. Abrams'.

"Di era analog, cel dan latar belakangnya terpisah secara fisik dan mengakibatkan banyak sekali batasan pada pencahayaan karenanya," tulisnya. "Sekarang sehabis semuanya menjadi bentuk digital, kita sanggup mencoba pencahayaan dan denah pewarnaan yang lebih rumit. Misalnya, saya berpikir perihal bagaimana caranya menyatukan lingkungan dan pantulan cahaya pada satu tokoh, bagaimana caranya mencocokkan pencahayaan ke warna latar belakangnya, dan kemudian membuat citra tersebut sebagai satu kesatuan. Jika seorang tokoh ada di sebuah hutan hijau di bawah langit biru, saya akan menyesuakan warna bayangan sang tokoh itu supaya menjadi kecenderungan hijau atau biru. Lensa flare juga sama. Daripada hanya meletakkan perapian yang keren di atas sebuah gambar, saya tetap mengingat perapian menyerupai apa yang pantas untuk diciptakan dan bagaimana cara saya menggambarnya."

Walaupun beberapa animator sedang berjuang untuk beralih ke teknologi digital, Shinkai tidak menganggap bahwa perubahan itu cukup cepat terjadinya. Dia intinya selalu memakai alat yang sama--Adobe Photoshop dan After Effects dengan sebuah tablet Wacom--sejak film Voices of a Distant Star pada tahun 2001.

"RGB 24-bit color depth (16 juta warna), anti-aliasing, layers, undo, dan sensor tekanan pada tablet ialah elemen-elemen penting dan fundamental di balik dampak besar yang ditimbulkan alat-alat digital semenjak satu dekade yang lalu," tulisnya. "Namun, walaupun satu dekade telah berselang, hal tersebut tidak terlalu berubah banyak. Banyak CPU menjadi lebih cepat, resolusi lebih besar, RAM lebih besar, dan ruang penyimpanan yang juga makin besar. Namun inti dari seni menggambar digital tidak berubah selama satu dekade ini. Karena itulah, saya merasa bahwa penciptaan karya seni digital sedang berada dalam kondisi stagnan. Saya berharap bahwa penemuan akan memajukan dunia alat-alat grafis di masa depan, menyerupai yang sudah terjadi pada fitur multi-touch pada smart phone."

Melaju Dengan CGI di Era Digital

Sebagaimana anime mulai beralih ke proses penintaan dan pewarnaan digital pada final tahun 90-an dan awal 2000-an, studio-studio animasi juga beralih ke teknologi digital lainnya untuk membantu memangkas biaya produksi: 3D. Cowboy Bebop, rilis tahun 1997, memakai model-model 3D menggantikan gambar-gambar manual untuk merotasi stasiun luar angkasa. Pada tahun 2002, Ghost in the Shell: Stand Alone Complex memakai 3D renders untuk robot-robot dan mobil-mobilnya. Disney memakai 3D di film-filmnya semenjak The Black Cauldron dan The Great Mouse Detective pada pertengahan 1980-an.

Gambar-gambar yang dihasilkan dengan komputer lebih ekonomis biaya, namun masih terdapat kekurangan di sana-sini pada masa awal-awal penggabungan 2D/3D dan duduk kasus detail gambar 2D yang melingkupinya. Film anime tahun 2004 berjudul Appleseed memakai cel shading untuk membuat model-model tokoh 3D-nya terlihat dianimasikan secara tradisional. Jika ada sesuatu yang akan membuat kalian mengapresiasi animasi 2D, maka itu ialah perjuangan Appleseed dalam menirunya.

Shinkai memakai CGI juga, namun kalian mungkin tidak pernah menyadarinya.

"Animasi dicipatakan dari dua elemen: abjad dan latar belakang," mulainya. "Karena rasa intrinsik dari 3DCG berbeda dari kedua elemen tersebut, kalau dipakai sebagaimana adanya, maka justru akan mengakibatkan elemen ketiga yang tidak perlu. Dengan kata lain, itu justru menghalangi sebuah animasi untuk dirasakan sebagai satu kesatuan utuh. Untuk mencegahnya, ketika memakai 3DCG, saya mencoba sebisa mungkin untuk membuatnya serupa dengan entah penggalan mana dari sebuah cel atau pun latar belakang."


"Saya tidak benar-benar tertarik pada 3DCG sebagai seorang individu... Namun harus diakui bahwa kelemahan dari animasi manual ialah biayanya. Karena duduk kasus budget dan penjadwalan, akan selalu ada kebutuhan berkelanjutan untuk beralih ke 3DCG. Dan sepanjang duduk kasus itu akan terus ada,  maka akan ada kebutuhan untuk sebuah teknologi berkembang terus menjadi lebih baik."

Penggunaan CGI yang hati-hati sanggup bercampur hampir tanpa bekas dengan dunia 2D. Namun masih ada sesuatu yang kurang perihal itu. Pergerakannya lah yang paling kentara, terlihat tidak alami, dan bahkan terlalu halus dan tepat dibandingkan animasi yang melingkupinya.


Shinkai menulis: "Ketika memakai model CG untuk sekumpulan burung layang-layang, saya memakai cel shading untuk membuat modelnya terlihat menyerupai penggalan dari cel tersebut (dengan memberinya garis tepi hitam dan warna yang datar). Untuk kincir angin yang berputar, saya memakai texture mapping dengan gambar latar belakang untuk membuat objek 3D terlihat serupa dengan latar belakangnya."

Fenomena CGI tak sanggup dihindari lagi pada animasi 2D modern kini ini. Industri animasi harus tetap mempertahankan biaya produksi yang rendah dan tidak ada satu pun yang bisa mendedikasikan 30 tahunnya untuk menuntaskan animasi 3D secara manual dan mendetail. Untungnya, hal itu sudah teratasi semenjak film The Rescuers Down Under, menyerupai yang sudah dibuktikan oleh Shinkai.

Pengaruh Ajaran Analog yang Masih Bertahan

Children Who Chase Lost Voices From Deep Below, yang dirilis tahun 2011, berbeda dengan karya-karya Makoto Shinkai yang sebelumnya. Ia menukar konsep sci-fi dan hutan urban Tokyo dengan lingkungan pedesaan yang makmur dan dunia fantasi yang imajinatif khas film garapan Studio Ghibli. Ini ialah film terlama dan paling detailnya. Yang patut dicatat, dampak Miyazaki di dalamnya menguatkan asumsi bahwa seni gambar digital paling modern sekalipun mempunyai relasi dengan tradisi seni gambar tradisional.


"Sebagai seorang amatir, saya mungkin telah menjadi penggalan dari generasi pionir animasi digital. Namun, dalam hal estetika, saya mungkin ialah director golongan generasi animasi analog," tulis Shinkai. "Saya berkata demikian alasannya film-film animasi Jepang komersial pada tahun 1980-an dan 90-an masih terpatri di benak saya, ketika saya memikirkan visualisasi yang paling ideal untuk film saya."



Satu lagi kemajuan di alat-alat digital--atau pun sebuah terobosan dari seorang animator muda yang, mungkin menyerupai Shinkai, tidak pernah mempelajari pembuatan animasi memakai cel--dapat menjadi kunci penemuan dan keberlangsungan animasi 2D. Animator-animator muda yang gres memulai langkah mereka kini ini bahkan mungkin lebih jauh lagi terpisah dari teknik kodifikasi gaya visual animasi 2D di kala ke-20.

Pada usianya yang ke-39, Shinkai masih mempunyai jalan karir panjang di depannya. Walaupun film Children Who Chase Lost Voices From Deep Below dilandaskan pada animasi cel film-film Studio Ghibli menyerupai Castle in the Sky, film tersebut juga menunjukkan gaya seni gambar yang berkembang jauh dan dengan teknik yang lebih rumit. Ketika kelak terobosan dalam dunia digital yang Shinkai harapkan tiba, beliau mungkin ialah orang pertama yang akan menggetarkan dunia animasi Jepang lagi.

Sekarang ini, para animator di Amerika Serikat sendiri sedang berjuang untuk menjual animasi 2D kepada para penonton yang sudah terlena oleh animasi 3D buatan Pixar dan Dreamworks. Sementara itu, industri Jepang sedang berusaha menyusul ketertinggalannya dalam hal teknologi modern. Di samping fakta bahwa teknologi digital membuka banyak opsi dalam hal editing dan pencahayaan yang tidak bisa ditemukan dengan teknologi cel, Shinkai menyatakan bahwa teknologi tersebut mempunyai beberapa kelemahan.

"Saya merasa bahwa akar landasan produksi animasi Jepang telah menjadi semakin dan semakin berbahaya semenjak kedatangan era digital. Alat-alat produksi dasar yang kita gunakan intinya ialah software komersial buatan luar negeri (Adobe After Effects, etc.). Kalau boleh bicara dengan sedikit ekstrim, area pengembangan teknologi animasi Jepang akan sangat dikontrol oleh keputusan Adobe dalam hal apa yang akan mereka masukkan di setiap versi gres software mereka. Komputer yang ada ketika ini tidak bisa membuka file-file After Effect yang disimpan semenjak 10 tahun lalu. Sebuah SCSI drive semenjak 10 tahun yang kemudian tidak bisa disambungkan dengan komputer modern dan sebuah CD-R yang di-burn semenjak 10 tahun yang kemudian juga sudah hampir mencapai ujung asumsi usianya."


"Apa yang kita, sebagai pembuat film, harus tekankan ialah bahwa hal-hal dimana kita mempunyai kontrol terhadap cerita, gambar orisinil, dan konsep artistik. Ketiganya ialah elemen-elemen yang tidak praktis dibedakan dan dipisahkan oleh teknologi analog maupun digital hingga kapan pun."

==================================
Sumber: http://www.tested.com/art/movies/442545-2d-animation-digital-era-interview-japanese-director-makoto-shinkai/

[Topic] Animasi 2D Di Masa Digital: Interview Dengan Makoto Shinkai

JFANindo game | manga | tokusatsu | musik
Pada Mei 2001, seorang desainer grafis Jepang berjulukan Makoto Shinkai keluar dari pekerjaannya di salah satu perusahaan video game untuk membuat film animasi berdurasi pendek berjudul Voices of a Distant Star. Meskipun hampir tidak punya pengalaman mengkombinasikan karangan naratif dan animasi, Shinkai berhasil memberikan sebuah dongeng yang unik; menggabungkan unsur sci-fi dengan drama dan 'kegalauan' masa muda. Terlebih, film pendek ini sanggup dikatakan sangat manis untuk ukuran sebuah proyek yang dikerjakan hanya oleh satu orang. Voices of a Distant Star merupakan sebuah terobosan yang sukses untuk seorang animator amatir, dan Shinkai telah membuat 3 film lebih selama sepuluh tahun terakhir ini, membuatnya dikenal sebagai salah satu kreator yang revolusioner di industri animasi Jepang.


Shinkai tergolong ke dalam generasi para animator muda, yang tidak pernah mencicipi bekerja dengan memakai format pen-and-paper, dan Voices of a Distant Star bagaikan sebuah testamen darinya perihal bagaimana teknologi komputer telah mengubah industri animasi selama satu dekade ini. Ia membuat film pendek 25 menit dalam waktu 7 bulan, memakai hanya sebuah Power Mac G4 pada ketika itu ketika prosesor PowerPC juga masih belum bisa beranjak dari batas 1GHz.

"Jika saya lahir 10 tahun lebih cepat, saya mungkin tidak akan berpikir saya bisa menjadi seorang animator," tulis Makoto Shinkai di sebuah interview memakai email perihal evolusi latar belakang landscape pada animasi 2D dan 3D. "Oh, mungkin saya akan menggambar beberapa di sana-sini, tapi saya ragu itu akan cukup untuk bertahan hidup. Ketika saya terobsesi untuk menjadi animator pada umur 20-an, dengan kebutuhan untuk mengekspresikan diri saya, kebetulan usia teknologi komputer dan alat-alat digital di Jepang telah cukup cukup umur untuk mewujudkannya."


Orang-orang yang berniat menjadi animator kini sanggup merealisasikan proyek-proyek ideal mereka dengan teknologi yang lebih murah dan lebih praktis diakses daripada sebelumnya. Apa yang dilakukan Shinkai untuk Voices of a Distant Star ialah memakai teknologi itu untuk membuat beberapa citra terindah di industri animasi. Semua karyanya mempunyai 'rasa' visual yang menakjubkan, berkat kombinasi antara pencahayaan yang hangat dan detail yang sederhana.

Namun, Shinkai menegaskan sebuah perbedaan yang terang antara teknologi dan gaya animasi digital: Walaupun prosesnya benar-benar baru, tekniknya sendiri masih menurut tradisi cel. Dan tradisi itu perlu waktu usang untuk berubah.

Sejarah Singkat Animasi 2D

Pada tahun 2009, The Princess and the Frog karya Walt Disney Pictures menunjukan kembalinya mereka kepada animasi 'traditional', sebuah proses yang mereka tinggalkan sehabis rilisnya Home on the Range pada tahun 2004. 'Traditional' ini sendiri ialah istilah yang cukup lucu di dunia animasi; sering dipakai untuk membedakan animasi 2D dengan animasi 3D (seperti Toy Story karya Pixar). Namun, 'tradisi' ini sendiri ialah lebih dari sekedar pembedaan antara 2D dan 3D. Itu ialah perihal teknik. Sejak tahun 1910-an, abjad animasi telah digambar dan diwarnai pada lembaran seluloid transparan (di masa kini, berganti menjadi selulosa asetat) yang disebut sebagai cel.

Pada ketika itu, cel ialah sebuah terobosan besar. Tanpanya, menganimasikan satu penggalan dari sebuah frame mengharuskan animator untuk menggambar ulang seluruh gambar. Dengan lapisan-lapisan cel, obyek tidak bergerak hanya perlu digambar satu kali dan sanggup dipakai lagi, sedangkan karakternya bisa digambar berulang kali untuk membuat pergerakan sebanyak 24 frame per detik.

Disney sudah tidak memakai cel selama lebih dari 20 tahun. The Little Mermaid, yang dirilis pada tahun 1989, ialah film Disney terakhir yang masih dianimasikan dengan cara dilukis susah payah di atas cel. Dimulai dengan The Rescuers Down Under pada tahun 1990, Disney berpindah ke sistem gres berjulukan CAPS. Mereka masih menggambar setiap frame animasi dengan tangan, namun, line art-nya di-scan dan diwarnai secara digital pada komputer. Cel-cel dipandang sudah kuno. Dengan demikian, The Little Mermaid dulunya dideklarasikan sebagai karya terakhir Disney memakai cara animasi 'traditional'.

Setelah bertahun-tahun lamanya mengalami pergantian teknologi, 20 tahun perkembangan komputer telah mempengaruhi proses animasi secara signifikan. Animasi sanggup digambar dan diwarnai secara digital, namun pada hari ini pun beberapa karya menyerupai The Simpsons digambar pada kertas dan di-scan untuk pewarnaan dan penintaan digital. Faktanya kita ketika ini hidup di dunia animasi digital, meskipun beberapa kreator sangat lambat beradaptasi.

Namun, seberapa perlukah teknologi tersebut diadopsi?

Generasi Baru Animasi Digital

"Animasi digital, setidaknya pada kasus industri animasi Jepang (termasuk juga film-film saya), ialah penerus eksklusif dari animasi yang digambar manual," tulis Shinkai. Itu artinya bahwa rumah-rumah produksi menyerupai Studio Ghibli telah sepenuhnya beralih ke teknologi komputer sehabis berdekade lamanya memakai animasi manual--mereka masih bergantung, setidaknya secara nurani, pada era penggunaan cel.


"Saya bahkan berani bilang bahwa (teknologi) itu ditahan perkembangannya oleh sebuah pementingan akan penciptaan kembali teknik animasi manual," lanjutnya. "Itu salah satu alasan mengapa, walaupun kita berada di era digital, cara-cara gres untuk menyajikan animasi-animasi mengalami hambatan untuk membuat akar kuatnya. Saya pikir ada tempat-tempat di luar dunia animasi komersial Jepang dimana anda bisa menemukan animasi digital dipakai sebagai teknik yang benar-benar baru. Saya pikir mereka, para kreator 3DCG amatir dan animator flash, lebih sanggup menguasai animasi digital dengan bebas daripada mereka yang berkutat di dalam industri animasi Jepang itu sendiri."

Setelah membuat Voices of a Distant Star sendirian (dan proses rekaman untuk mengisi bunyi dua protagonis dongeng itu bersama tunangannya), Shinkai dengan cepat menjadi satu penggalan dari industri anime Jepang. Ia menulis dan mensutradarai sebuah film berdurasi 90 menit, berjudul The Place Promised in Our Early Days (2004) dengan susunan staf yang berjumlah lebih dari 30 artist dan animator. Proyeknya yang selanjutnya, 5 Centimeters Per Second (2007) berdurasi 1 jam, memperkerjakan susunan staff berjumlah itu juga.


Ketiga film tersebut mempunyai tema yang mirip: ber-setting latar belakang ala sci-fi namun berfokus pada relasi di antara para tokoh yang berjuang untuk saling terhubung satu sama lain. Perjuangan itu tercermin pada desain karakternya--protagonis mudanya sering mempunyai fitur wajah minimalis yang merefleksikan lisan diri mereka yang tertahan. Pasangan remaja yang saling jatuh cinta dan sci-fi ialah kuncinya.

"Saya pikir sci-fi sanggup menarik keluar esensi dari relasi antar manusia, dengan membuat setting dan situasi yang ekstrim," tulis Shinkai. "Kemampuan sci-fi untuk membuat hal tersebut melalui banyak sekali eksperiman.... ialah satu hal yang saya suka tentangnya."


Ketiga film animasinya ber-ciri khas-kan awan-awan berwarna air, langit yang terwarnai dengan jelas, dan pencahayaan yang dramatis. Ciri khas yang terakhir ialah berkat teknologi digital: Shinkai memakai lensa flare semacam 'J.J. Abrams'.

"Di era analog, cel dan latar belakangnya terpisah secara fisik dan mengakibatkan banyak sekali batasan pada pencahayaan karenanya," tulisnya. "Sekarang sehabis semuanya menjadi bentuk digital, kita sanggup mencoba pencahayaan dan denah pewarnaan yang lebih rumit. Misalnya, saya berpikir perihal bagaimana caranya menyatukan lingkungan dan pantulan cahaya pada satu tokoh, bagaimana caranya mencocokkan pencahayaan ke warna latar belakangnya, dan kemudian membuat citra tersebut sebagai satu kesatuan. Jika seorang tokoh ada di sebuah hutan hijau di bawah langit biru, saya akan menyesuakan warna bayangan sang tokoh itu supaya menjadi kecenderungan hijau atau biru. Lensa flare juga sama. Daripada hanya meletakkan perapian yang keren di atas sebuah gambar, saya tetap mengingat perapian menyerupai apa yang pantas untuk diciptakan dan bagaimana cara saya menggambarnya."

Walaupun beberapa animator sedang berjuang untuk beralih ke teknologi digital, Shinkai tidak menganggap bahwa perubahan itu cukup cepat terjadinya. Dia intinya selalu memakai alat yang sama--Adobe Photoshop dan After Effects dengan sebuah tablet Wacom--sejak film Voices of a Distant Star pada tahun 2001.

"RGB 24-bit color depth (16 juta warna), anti-aliasing, layers, undo, dan sensor tekanan pada tablet ialah elemen-elemen penting dan fundamental di balik dampak besar yang ditimbulkan alat-alat digital semenjak satu dekade yang lalu," tulisnya. "Namun, walaupun satu dekade telah berselang, hal tersebut tidak terlalu berubah banyak. Banyak CPU menjadi lebih cepat, resolusi lebih besar, RAM lebih besar, dan ruang penyimpanan yang juga makin besar. Namun inti dari seni menggambar digital tidak berubah selama satu dekade ini. Karena itulah, saya merasa bahwa penciptaan karya seni digital sedang berada dalam kondisi stagnan. Saya berharap bahwa penemuan akan memajukan dunia alat-alat grafis di masa depan, menyerupai yang sudah terjadi pada fitur multi-touch pada smart phone."

Melaju Dengan CGI di Era Digital

Sebagaimana anime mulai beralih ke proses penintaan dan pewarnaan digital pada final tahun 90-an dan awal 2000-an, studio-studio animasi juga beralih ke teknologi digital lainnya untuk membantu memangkas biaya produksi: 3D. Cowboy Bebop, rilis tahun 1997, memakai model-model 3D menggantikan gambar-gambar manual untuk merotasi stasiun luar angkasa. Pada tahun 2002, Ghost in the Shell: Stand Alone Complex memakai 3D renders untuk robot-robot dan mobil-mobilnya. Disney memakai 3D di film-filmnya semenjak The Black Cauldron dan The Great Mouse Detective pada pertengahan 1980-an.

Gambar-gambar yang dihasilkan dengan komputer lebih ekonomis biaya, namun masih terdapat kekurangan di sana-sini pada masa awal-awal penggabungan 2D/3D dan duduk kasus detail gambar 2D yang melingkupinya. Film anime tahun 2004 berjudul Appleseed memakai cel shading untuk membuat model-model tokoh 3D-nya terlihat dianimasikan secara tradisional. Jika ada sesuatu yang akan membuat kalian mengapresiasi animasi 2D, maka itu ialah perjuangan Appleseed dalam menirunya.

Shinkai memakai CGI juga, namun kalian mungkin tidak pernah menyadarinya.

"Animasi dicipatakan dari dua elemen: abjad dan latar belakang," mulainya. "Karena rasa intrinsik dari 3DCG berbeda dari kedua elemen tersebut, kalau dipakai sebagaimana adanya, maka justru akan mengakibatkan elemen ketiga yang tidak perlu. Dengan kata lain, itu justru menghalangi sebuah animasi untuk dirasakan sebagai satu kesatuan utuh. Untuk mencegahnya, ketika memakai 3DCG, saya mencoba sebisa mungkin untuk membuatnya serupa dengan entah penggalan mana dari sebuah cel atau pun latar belakang."


"Saya tidak benar-benar tertarik pada 3DCG sebagai seorang individu... Namun harus diakui bahwa kelemahan dari animasi manual ialah biayanya. Karena duduk kasus budget dan penjadwalan, akan selalu ada kebutuhan berkelanjutan untuk beralih ke 3DCG. Dan sepanjang duduk kasus itu akan terus ada,  maka akan ada kebutuhan untuk sebuah teknologi berkembang terus menjadi lebih baik."

Penggunaan CGI yang hati-hati sanggup bercampur hampir tanpa bekas dengan dunia 2D. Namun masih ada sesuatu yang kurang perihal itu. Pergerakannya lah yang paling kentara, terlihat tidak alami, dan bahkan terlalu halus dan tepat dibandingkan animasi yang melingkupinya.


Shinkai menulis: "Ketika memakai model CG untuk sekumpulan burung layang-layang, saya memakai cel shading untuk membuat modelnya terlihat menyerupai penggalan dari cel tersebut (dengan memberinya garis tepi hitam dan warna yang datar). Untuk kincir angin yang berputar, saya memakai texture mapping dengan gambar latar belakang untuk membuat objek 3D terlihat serupa dengan latar belakangnya."

Fenomena CGI tak sanggup dihindari lagi pada animasi 2D modern kini ini. Industri animasi harus tetap mempertahankan biaya produksi yang rendah dan tidak ada satu pun yang bisa mendedikasikan 30 tahunnya untuk menuntaskan animasi 3D secara manual dan mendetail. Untungnya, hal itu sudah teratasi semenjak film The Rescuers Down Under, menyerupai yang sudah dibuktikan oleh Shinkai.

Pengaruh Ajaran Analog yang Masih Bertahan

Children Who Chase Lost Voices From Deep Below, yang dirilis tahun 2011, berbeda dengan karya-karya Makoto Shinkai yang sebelumnya. Ia menukar konsep sci-fi dan hutan urban Tokyo dengan lingkungan pedesaan yang makmur dan dunia fantasi yang imajinatif khas film garapan Studio Ghibli. Ini ialah film terlama dan paling detailnya. Yang patut dicatat, dampak Miyazaki di dalamnya menguatkan asumsi bahwa seni gambar digital paling modern sekalipun mempunyai relasi dengan tradisi seni gambar tradisional.


"Sebagai seorang amatir, saya mungkin telah menjadi penggalan dari generasi pionir animasi digital. Namun, dalam hal estetika, saya mungkin ialah director golongan generasi animasi analog," tulis Shinkai. "Saya berkata demikian alasannya film-film animasi Jepang komersial pada tahun 1980-an dan 90-an masih terpatri di benak saya, ketika saya memikirkan visualisasi yang paling ideal untuk film saya."



Satu lagi kemajuan di alat-alat digital--atau pun sebuah terobosan dari seorang animator muda yang, mungkin menyerupai Shinkai, tidak pernah mempelajari pembuatan animasi memakai cel--dapat menjadi kunci penemuan dan keberlangsungan animasi 2D. Animator-animator muda yang gres memulai langkah mereka kini ini bahkan mungkin lebih jauh lagi terpisah dari teknik kodifikasi gaya visual animasi 2D di kala ke-20.

Pada usianya yang ke-39, Shinkai masih mempunyai jalan karir panjang di depannya. Walaupun film Children Who Chase Lost Voices From Deep Below dilandaskan pada animasi cel film-film Studio Ghibli menyerupai Castle in the Sky, film tersebut juga menunjukkan gaya seni gambar yang berkembang jauh dan dengan teknik yang lebih rumit. Ketika kelak terobosan dalam dunia digital yang Shinkai harapkan tiba, beliau mungkin ialah orang pertama yang akan menggetarkan dunia animasi Jepang lagi.

Sekarang ini, para animator di Amerika Serikat sendiri sedang berjuang untuk menjual animasi 2D kepada para penonton yang sudah terlena oleh animasi 3D buatan Pixar dan Dreamworks. Sementara itu, industri Jepang sedang berusaha menyusul ketertinggalannya dalam hal teknologi modern. Di samping fakta bahwa teknologi digital membuka banyak opsi dalam hal editing dan pencahayaan yang tidak bisa ditemukan dengan teknologi cel, Shinkai menyatakan bahwa teknologi tersebut mempunyai beberapa kelemahan.

"Saya merasa bahwa akar landasan produksi animasi Jepang telah menjadi semakin dan semakin berbahaya semenjak kedatangan era digital. Alat-alat produksi dasar yang kita gunakan intinya ialah software komersial buatan luar negeri (Adobe After Effects, etc.). Kalau boleh bicara dengan sedikit ekstrim, area pengembangan teknologi animasi Jepang akan sangat dikontrol oleh keputusan Adobe dalam hal apa yang akan mereka masukkan di setiap versi gres software mereka. Komputer yang ada ketika ini tidak bisa membuka file-file After Effect yang disimpan semenjak 10 tahun lalu. Sebuah SCSI drive semenjak 10 tahun yang kemudian tidak bisa disambungkan dengan komputer modern dan sebuah CD-R yang di-burn semenjak 10 tahun yang kemudian juga sudah hampir mencapai ujung asumsi usianya."


"Apa yang kita, sebagai pembuat film, harus tekankan ialah bahwa hal-hal dimana kita mempunyai kontrol terhadap cerita, gambar orisinil, dan konsep artistik. Ketiganya ialah elemen-elemen yang tidak praktis dibedakan dan dipisahkan oleh teknologi analog maupun digital hingga kapan pun."

==================================
Sumber: http://www.tested.com/art/movies/442545-2d-animation-digital-era-interview-japanese-director-makoto-shinkai/

Tidak ada komentar

Terima Kasih sudah berkunjung...
SEMPATKAN MENGISI NAMA JIKA KOMENTAR, no spam!
Silahkan lihat seluruh konten situs ini di Daftar Isi [lengkap]
Diskusikan segala hal berbau Jepang di Forum JFANindo Register dulu ya ^_^